FintalkUpdate News

10 Pekerjaan yang Rawan di PHK hingga 2030

Ribuan pekerja administrasi, kasir, hingga teller menghadapi masa depan yang tidak pasti jika tak beradaptasi dengan cepat.

Di sebuah kongres teknologi kerja di Jakarta, seorang tenaga administrasi mengaku mulai resah. “Saya baru sadar CV-ku penuh peran yang bisa diotomatisasi AI,” katanya lirih. Ungkapan itu mencerminkan kecemasan banyak pekerja di berbagai sektor yang mulai tergantikan teknologi.

Menurut laporan Kompas, pekerjaan administratif seperti petugas pos, teller bank, dan kasir berada di posisi teratas pekerjaan yang terancam hilang akibat percepatan digitalisasi. World Economic Forum (WEF) melalui Future Jobs Report 2025 bahkan memperkirakan sekitar 92 juta pekerjaan akan hilang hingga 2030, meski di saat yang sama 170 juta pekerjaan baru akan tercipta. Otomatisasi, robotika, dan kemajuan AI menjadi faktor utama yang mengguncang peta ketenagakerjaan global.

Sepuluh pekerjaan yang diprediksi menyusut drastis hingga 2030 meliputi petugas layanan pos, teller bank dan staf terkait, petugas entri data, kasir dan petugas tiket, asisten administrasi dan sekretaris eksekutif, pekerja percetakan, staf akuntansi dan pembukuan, pencatat material dan penyimpanan stok, kondektur dan petugas transportasi, hingga pedagang door-to-door atau penjual koran. Tren ini menunjukkan bahwa pekerjaan rutin, berulang, dan minim kreativitas adalah yang paling rentan digantikan mesin.

Meski begitu, masa depan tidak sepenuhnya suram. Para ahli menyarankan pekerja mulai melakukan upskilling dan reskilling, terutama di bidang teknologi digital, analisis data, dan keamanan siber yang kini semakin dibutuhkan. Beralih ke peran yang mengutamakan interaksi manusia, seperti konsultan, pendidik, dan tenaga kesehatan, juga menjadi pilihan yang sulit digantikan mesin. Pendekatan lain adalah mengadopsi kolaborasi manusia-mesin, memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan ancaman.

Read More  Daewoong Perkenalkan Produk Estetika Medis di Indonesia

Kreativitas dan soft skills juga semakin penting. Berpikir kritis, kemampuan berkomunikasi, dan inovasi menjadi nilai tambah yang belum bisa digantikan algoritma secanggih apa pun. Dengan strategi adaptif ini, para pekerja tidak hanya bisa bertahan lima tahun ke depan, tetapi juga membuka peluang untuk berkembang di sektor-sektor yang justru tumbuh di era disrupsi teknologi.

Gelombang otomatisasi memang tidak terelakkan, tetapi mereka yang siap berubah akan selalu menemukan ruang untuk bertahan. Masa depan kerja mungkin menantang, namun dengan keterampilan baru dan sikap adaptif, pekerja Indonesia bisa mengubah ketakutan menjadi peluang untuk mencetak prestasi di era digital.

Back to top button