Safe and SecureUpdate News

14,93 Persen Keluarga Indonesia Tak Punya Rumah Sendiri, Apa Dampaknya bagi Keamanan dan Sosial?

Data terbaru BPS mencatat hampir 15 persen keluarga di Indonesia masih menempati rumah bukan milik sendiri, kondisi yang dinilai berdampak pada keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas sosial

Memiliki rumah masih menjadi impian bagi banyak keluarga di Indonesia. Namun kenyataannya, tak semua mampu mewujudkannya. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi terbarunya mencatat, 14,93 persen keluarga di Indonesia tidak tinggal di rumah milik sendiri. Artinya, sekitar satu dari tujuh keluarga masih hidup di rumah sewa, kontrakan, atau menumpang di tempat kerabat.

Angka ini menunjukkan bahwa kepemilikan rumah masih menjadi tantangan serius di tengah kenaikan harga properti dan biaya hidup yang kian tinggi. Sebagian besar keluarga nonpemilik rumah berada di kawasan perkotaan padat penduduk seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, di mana harga tanah dan rumah terus melambung jauh di atas daya beli masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa keterbatasan akses terhadap kepemilikan rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, seperti pendapatan rendah, ketimpangan harga tanah, serta terbatasnya program pembiayaan rumah yang terjangkau. “Masih banyak keluarga muda dan pekerja informal yang kesulitan memenuhi syarat kredit kepemilikan rumah. Akibatnya, mereka memilih menyewa atau menumpang sementara waktu,” ujarnya dalam rilis resmi BPS, Selasa (15/10).

Dari sisi sosial, fenomena ini memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas dan keamanan lingkungan tempat tinggal. Menurut pengamat perkotaan Nirwono Joga, keluarga yang tidak memiliki rumah sendiri cenderung berpindah-pindah, sehingga ikatan sosial antarwarga menjadi lemah. “Mobilitas tinggi akibat kontrakan jangka pendek membuat rasa memiliki terhadap lingkungan berkurang. Ini berpengaruh pada keamanan, solidaritas sosial, dan kepedulian terhadap fasilitas umum,” jelasnya.

Read More  Mitsubishi Grandis Terbaru Resmi Meluncur di Eropa, Hadir dengan Teknologi Hybrid

Selain itu, data BPS menunjukkan bahwa keluarga yang tinggal di rumah bukan milik sendiri umumnya menghadapi keterbatasan ruang dan fasilitas dasar. Banyak yang hidup di kawasan padat penduduk dengan kondisi hunian yang minim ventilasi dan sanitasi. Situasi ini dapat meningkatkan risiko kesehatan dan keselamatan, terutama saat terjadi bencana kebakaran atau banjir.

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Dr. Hadi Susilo Arifin, menambahkan bahwa kepemilikan rumah bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari rasa aman dan identitas sosial. “Keluarga yang memiliki rumah sendiri cenderung memiliki kestabilan psikologis lebih baik. Sebaliknya, keluarga yang sering berpindah tempat tinggal rentan stres dan sulit membangun rasa aman, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa,” ujarnya.

Pemerintah sebenarnya telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan akses kepemilikan rumah, seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Selisih Bunga (SSB) melalui Kementerian PUPR. Namun, tantangan terbesar masih terletak pada daya beli masyarakat dan distribusi lahan yang tidak merata.

Urbanisasi cepat tanpa diimbangi perumahan terjangkau juga memperburuk kondisi ini. Di Jakarta misalnya, sebagian besar pekerja memilih tinggal di daerah penyangga seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang, karena harga rumah di ibu kota tidak lagi realistis untuk penghasilan rata-rata. Akibatnya, muncul fenomena komuter ekstrem, di mana warga menghabiskan waktu hingga empat jam sehari hanya untuk perjalanan kerja.

Kondisi ini tak hanya berdampak pada produktivitas, tapi juga keamanan sosial jangka panjang. Kawasan dengan banyak rumah sewa atau kontrakan kerap memiliki tingkat perputaran penduduk tinggi, yang menyulitkan pengawasan lingkungan dan memperbesar risiko kejahatan kecil seperti pencurian.

Fenomena 14,93 persen keluarga tanpa rumah milik sendiri ini menjadi alarm penting bagi pemerintah dan sektor perumahan nasional untuk mencari solusi keberlanjutan — bukan sekadar membangun rumah baru, tetapi memastikan setiap keluarga memiliki akses terhadap tempat tinggal yang layak, aman, dan stabil.

Back to top button