45 Ribu Apartemen Kosong di Jakarta, Pasar Hunian Vertikal Perlu Penyesuaian
Lesunya penjualan apartemen di Jakarta memunculkan kekhawatiran baru. Dengan 45 ribu unit yang belum terserap pasar, pengembang kini dihadapkan pada kenyataan baru: langit kota semakin padat, namun ruang huni justru kosong.

Dari sudut langit Jakarta, hunian-hunian vertikal menjulang megah. Namun di balik fasad kaca yang mengilap, ribuan unit justru tak berpenghuni. Laporan terbaru dari Leads Property menyebutkan bahwa hingga pertengahan tahun ini, ada sekitar 45.000 unit apartemen di Jakarta yang belum terserap pasar—angka yang menyiratkan kelebihan suplai serius di sektor properti ibu kota.
Fenomena ini tidak datang tiba-tiba. Sejak pandemi COVID-19, preferensi masyarakat telah berubah drastis. Rumah tapak di pinggiran kota kian diminati, sementara apartemen—khususnya di kawasan pusat bisnis—kehilangan daya tariknya.
“Pasar lesu bukan hanya karena harga, tapi karena cara hidup pun telah berubah. Pandemi membuat banyak orang menyadari nilai ruang terbuka, fleksibilitas, dan kepemilikan yang lebih tangible,” ujar Aditia Nurachman, analis properti urban dari SmartUrban Institute.
Pada kuartal pertama 2025, hanya 185 unit apartemen yang terjual di seluruh wilayah Jakarta—jumlah terendah dalam satu dekade terakhir. Padahal harga jual relatif stabil, berkisar di angka Rp27,5 juta per meter persegi, bahkan di kawasan Central Business District (CBD) menyentuh Rp57,7 juta per meter.
Ironisnya, 79% dari pasokan apartemen justru berada di luar kawasan CBD. Ketimpangan ini menimbulkan surplus pasokan tanpa disertai minat beli yang sepadan. “Orang enggan membeli unit di lokasi yang tidak punya nilai konektivitas tinggi. Akses dan mobilitas masih jadi kunci utama,” tambah Aditia.
Bagi pengembang, situasi ini menjadi alarm keras. Banyak yang kini menunda peluncuran proyek baru, beralih fokus pada strategi diskon, penyesuaian skema cicilan, hingga menjajaki konversi fungsi bangunan. Ada juga yang mulai melirik pasar sewa jangka pendek untuk menjaga arus kas.
Namun di balik tantangan, terdapat peluang bagi transformasi. Urban planner dan aktivis ruang kota, Lusi Ambarwati, melihat kelebihan unit ini bisa dimanfaatkan untuk program perumahan terjangkau. “Daripada kosong, kenapa tidak dialihkan sebagai hunian bagi pekerja esensial, mahasiswa, atau bahkan skema sewa-beli bagi warga urban berpenghasilan menengah?” ujarnya.
Kondisi ini mencerminkan tantangan kota besar modern: saat pembangunan fisik melaju lebih cepat daripada dinamika sosial warganya. Apartemen telah dibangun untuk generasi yang tidak lagi membelinya.
Di tengah langit Jakarta yang terus menanjak, pertanyaannya kini bukan lagi berapa tinggi gedung dapat dibangun—melainkan, siapa yang akan mengisi ruang-ruang kosong di dalamnya.