FintalkUpdate News

Tarif Impor 32% dari AS Guncang Ekspor RI, Keluarga Indonesia Mulai Rasakan Dampaknya

Kebijakan tarif 32% dari Amerika Serikat terhadap produk impor Indonesia mulai memukul industri ekspor, dan kini mulai merembet ke keuangan rumah tangga jutaan keluarga di tanah air.

Langit mendung menaungi kawasan industri di Jawa Barat pagi itu. Truk-truk pengangkut tekstil dan sepatu terlihat lebih sedikit dari biasanya. Di kantin pabrik, obrolan para pekerja berubah. Bukan lagi soal lemburan atau THR, melainkan soal pemangkasan jam kerja, pengurangan pesanan, dan kekhawatiran kehilangan penghasilan.

Kebijakan tarif impor 32% yang baru saja diberlakukan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap sejumlah produk Indonesia telah mengubah banyak hal. Meskipun terdengar seperti urusan antarnegara, dampaknya terasa nyata di dapur-dapur rumah tangga, terutama mereka yang bergantung pada industri ekspor padat karya—seperti tekstil, alas kaki, furnitur, elektronik, dan sawit.

Menurut data ekspor terbaru, Amerika Serikat adalah salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Sekitar 9–10% dari total ekspor non-migas Indonesia dikirim ke negeri Paman Sam, dengan nilai mencapai lebih dari US$25 miliar setiap tahun. Namun sejak 1 Agustus 2025, semua produk tersebut dikenai tarif tambahan 32% saat masuk ke pasar AS. Artinya, harga produk Indonesia di sana melonjak drastis dan membuatnya kalah bersaing dengan barang serupa dari Vietnam, Thailand, bahkan Meksiko.

Dampaknya, para importir AS mulai mengurangi pesanan. Pabrik-pabrik di Indonesia yang biasanya mengekspor dalam jumlah besar kini menghadapi realita pahit: stok menumpuk, pesanan tertunda, dan efisiensi menjadi pilihan utama—termasuk dengan mengurangi jam kerja atau bahkan merumahkan karyawan.

Efek domino pun terjadi di tingkat keluarga. Penghasilan suami atau istri yang bekerja di sektor ekspor menurun drastis. Dalam banyak kasus, satu-satunya tulang punggung keluarga kini harus menghadapi bulan tanpa lembur atau insentif. Dengan cicilan yang tetap berjalan, kebutuhan sekolah anak, dan harga bahan pokok yang terus naik, tekanan finansial semakin terasa.

Read More  1 dari 4 Gen Z Menyesal Kuliah, Tren Ini Akan Terjadi di Indonesia?

“Saya biasanya bawa pulang Rp4 juta sebulan. Tapi bulan ini cuma Rp2,7 juta. Katanya ekspor turun,” ujar Rudi, buruh garmen di Karawang, saat ditemui di depan pabrik tempatnya bekerja. Ia kini terpaksa mengurangi belanja dapur dan menunda pembayaran angsuran motor.

Tak hanya di industri garmen. Petani sawit di Kalimantan dan Sumatra juga mulai merasa khawatir. Harga TBS (tandan buah segar) mulai turun karena ekspor CPO (minyak sawit mentah) ke Amerika berkurang. “Biasanya panen bisa buat bayar sekolah anak, sekarang cuma cukup buat makan,” ujar Ramlah, petani sawit di Kalbar.

Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perdagangan kini tengah melakukan negosiasi diplomatik dan menyiapkan paket insentif bagi pelaku ekspor. Di saat yang sama, pemerintah juga mendorong diversifikasi pasar—memperluas ekspor ke Eropa, Timur Tengah, hingga India agar tak terlalu bergantung pada pasar AS.

Di sisi fiskal, pemerintah bersama asosiasi industri seperti GAPKI juga mendorong pemangkasan pajak ekspor dan pungutan untuk mengurangi beban pelaku usaha. Namun, kebijakan ini masih membutuhkan waktu untuk benar-benar terasa hingga ke rumah-rumah warga.

Para ekonom menilai, efek dari tarif ini bisa berlangsung dalam jangka menengah, terutama jika Indonesia gagal membalikkan arah ekspor dan menjaga nilai tukar rupiah. Jika kurs melemah, harga barang impor akan naik, yang berarti inflasi makin mencekik masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Ketika sektor ekspor melemah, bukan hanya perusahaan yang kena dampaknya, tapi juga para buruh, petani, dan keluarga mereka. Penghasilan turun, pengeluaran tetap, tabungan menipis. Ini bisa menjadi tekanan sosial,” kata analis ekonomi dari INDEF, Bhima Yudhistira, dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Read More  Tragedi Supercar, Mengapa Mobil Sport Mewah Sering Kecelakaan?

Dalam situasi seperti ini, keluarga Indonesia harus mulai lebih waspada dalam mengatur keuangan. Mengurangi konsumsi yang tidak perlu, menunda belanja besar, serta memperkuat dana darurat bisa menjadi langkah awal. Pemerintah pun diharapkan mempercepat bantuan langsung tunai, insentif pekerja terdampak, serta menjaga stabilitas harga pangan agar masyarakat tidak menjadi korban kedua dari konflik dagang global ini.

Tarif 32% mungkin terlihat seperti sekadar angka dalam berita ekonomi internasional. Tapi di balik itu, tersimpan kenyataan pahit di meja makan keluarga Indonesia—bahwa gejolak perdagangan dunia bisa mengetuk pintu rumah siapa saja.

Back to top button