Larangan Truk ODOL Kembali Mundur, Jalan Makin Rusak, Kerugian Makin Besar
Rencana pelarangan truk ODOL kembali ditunda, memicu kekhawatiran akan kerusakan jalan yang makin parah dan kerugian negara yang terus membengkak.
Pemerintah kembali menunda penerapan larangan truk ODOL (Over Dimension Over Loading), membuat banyak pihak mengelus dada. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur yang berisiko tinggi terhadap kondisi infrastruktur nasional dan anggaran negara. Bahkan, ada yang menyebut kebijakan ini seperti “memutar waktu ke tahun 2007”, saat pembiaran truk ODOL masih marak tanpa kontrol tegas.
Kementerian Perhubungan sebelumnya menargetkan larangan penuh truk ODOL akan diberlakukan mulai Januari 2023. Namun implementasinya terus diundur dengan dalih menunggu kesiapan pelaku usaha logistik. Hingga pertengahan 2025, penegakan aturan masih bersifat terbatas dan belum efektif secara nasional.
Yayat Supriatna, pakar tata kota dari Universitas Trisakti, mengatakan bahwa dampak dari pembiaran truk ODOL sudah sangat terasa. âSetiap tahun kita menyaksikan jalan nasional dan tol cepat rusak, bahkan yang baru diaspal pun hanya bertahan beberapa bulan. Ini bukan karena kualitas material, tetapi karena tonase kendaraan yang jauh melampaui kapasitas yang diizinkan,â ujarnya.
Berdasarkan data dari Kementerian PUPR, kerugian akibat kerusakan jalan yang disebabkan truk ODOL mencapai lebih dari Rp43 triliun per tahun. Ini belum termasuk kerugian tidak langsung seperti kemacetan, peningkatan kecelakaan, dan biaya sosial akibat keterlambatan logistik. Di sisi lain, anggaran pemeliharaan jalan terus membengkak dan membebani APBN.
Salah satu pengguna jalan tol di Jawa Tengah, Deni Suhendar, mengaku sering melihat truk-truk besar dengan muatan berlebih yang berjalan lambat dan merusak badan jalan. âSetelah mereka lewat, jalan jadi ambles. Akibatnya, kendaraan pribadi seperti saya ikut kena imbas, harus sering ganti ban dan shockbreaker,â ujarnya.
Sejumlah asosiasi logistik memang menolak penerapan penuh larangan ODOL karena dianggap akan meningkatkan biaya distribusi. Namun banyak kalangan menilai bahwa penundaan terus-menerus justru memperbesar beban ekonomi jangka panjang. Tanpa penegakan yang tegas, pelanggaran akan terus menjadi kebiasaan dan berdampak sistemik.
Haryo Wibowo, pengamat transportasi dari ITS Surabaya, menyarankan agar pemerintah tidak hanya menunda, tapi segera menetapkan roadmap implementasi yang realistis. âJika tidak bisa penuh tahun ini, buat skenario bertahap yang wajib jalan. Misalnya, dimulai dari koridor utama Pulau Jawa dan Sumatera, dengan pengawasan digital lewat jembatan timbang otomatis,â katanya.
Teknologi saat ini sebenarnya sudah mendukung penindakan lebih efektif. Sistem Weigh In Motion (WIM) atau timbangan bergerak bisa membaca muatan truk saat kendaraan melaju, tanpa harus berhenti. Namun, masih banyak ruas jalan yang belum dilengkapi fasilitas tersebut, sehingga penegakan hukum pun tidak merata.
Para pegiat lingkungan dan pemerhati infrastruktur pun menyuarakan kekhawatiran yang sama. Mereka menilai bahwa truk ODOL tidak hanya merusak jalan, tetapi juga memperbesar jejak karbon akibat konsumsi bahan bakar berlebih dan mempercepat usia pakai kendaraan.
Hingga kini belum ada kepastian kapan aturan ini akan ditegakkan secara penuh. Jika pemerintah terus menunda dengan dalih kompromi industri, maka kerusakan jalan akan terus menjadi bom waktu yang menghantui, sementara biaya pemulihannya dibebankan kepada publik.





