Kemacetan Jabodetabek Semakin Parah, Kerugian Ekonomi Capai Rp 100 Triliun per Tahun
Kepadatan lalu lintas di Jabodetabek kian memburuk usai libur sekolah berakhir, dengan kerugian ekonomi akibat kemacetan diperkirakan mencapai hampir Rp 100 triliun per tahun.

Pagi hari di ruas tol dalam kota Jakarta, jarak sejauh 6 kilometer ditempuh selama satu jam. Mobil berhenti nyaris tak bergerak. Wajah-wajah lelah pengemudi mengintip dari balik kaca jendela yang berembun, sebagian menyerah dan memilih mematikan mesin. Inilah potret nyata kemacetan Jakarta dan sekitarnya yang makin kronis, terutama usai musim libur sekolah berakhir di pertengahan Juli 2025.
Kembalinya aktivitas rutin warga membuat volume kendaraan melonjak drastis sejak awal pekan ini. Arus kendaraan dari kawasan penyangga seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor memadati pintu-pintu masuk Jakarta, memperparah situasi yang memang sudah macet parah setiap harinya.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mencatat, masyarakat Jabodetabek kehilangan waktu hingga 174 jam per tahun hanya untuk terjebak di jalan. Kerugian ekonomi akibat pemborosan bahan bakar, waktu produktif yang hilang, hingga gangguan kesehatan akibat polusi, ditaksir mencapai Rp 71,4 triliun per tahun. Sementara studi lain dari Bank Dunia dan Kementerian Perhubungan menyebut, kerugian total bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun.
Menurut Cucu Mulyana, Dirjen Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan, kemacetan di Jabodetabek memang sudah masuk kategori darurat. “Setiap tahun angkanya naik. Aktivitas warga meningkat, tetapi infrastruktur jalan tidak bertambah secepat pertumbuhan kendaraan,” ujarnya kepada media.
Kondisi ini tak hanya mempengaruhi mobilitas individu, tetapi juga berdampak langsung pada biaya logistik dan harga barang. Ahmad Heri Firdaus, ekonom dari INDEF, menilai kemacetan membuat biaya transportasi logistik membengkak hingga 30 persen lebih mahal. “Bayangkan, mobil barang yang seharusnya bisa kirim lima kali dalam sehari, hanya bisa tiga atau empat kali saja karena macet. Ini membuat ongkos kirim naik dan berujung pada mahalnya harga barang,” jelasnya kepada DW Indonesia.
Polusi udara juga menjadi efek domino yang tak bisa diabaikan. Setiap kendaraan yang berhenti lama di jalan dengan mesin menyala menyumbang karbon dan partikel debu ke udara. Akibatnya, Jakarta kembali menjadi salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia selama puncak musim kemacetan ini.
Suharto, Pelaksana Harian Kepala BPTJ, mengatakan warga Jabodetabek saat ini kehilangan waktu produktif yang setara dengan 21 hari kerja per tahun hanya untuk menghadapi macet. “Setiap detik macet berarti kerugian ekonomi. Efeknya berantai, dari sektor logistik hingga kesehatan masyarakat,” ujarnya kepada Kompas.
Transportasi Publik dan Pengendalian Kendaraan Pribadi
Para pakar menilai solusi jangka panjangnya adalah membangun sistem transportasi publik yang nyaman, terintegrasi, dan terjangkau. Penambahan rute MRT, LRT, KRL, hingga Transjakarta perlu didorong agar warga Jabodetabek beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi massal.
Yayat Supriatna, pakar tata kota dari Universitas Trisakti, menyebut pengembangan kawasan penyangga Jakarta harus disertai dengan akses transportasi publik yang memadai. “Kalau tidak, warga tetap akan memilih kendaraan pribadi. Ini problem klasik,” kata Yayat.
Selain itu, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar secara konsisten di sejumlah ruas strategis untuk mengendalikan volume kendaraan di jam-jam sibuk.
“ERP bukan hanya soal pungutan, tapi pengendalian demand kendaraan pribadi agar lalu lintas lebih efisien,” tambah Eddy Siahaan, pemerhati transportasi dari Indonesia Traffic Watch.
Dengan tingkat kemacetan yang semakin akut, khususnya setelah berakhirnya musim liburan, Jabodetabek kini menghadapi tantangan besar dalam mengelola mobilitas warganya. Jika tidak segera diatasi, kerugian ekonomi akan terus meningkat, dan kualitas hidup warga metropolitan bisa semakin tergerus oleh stres jalanan yang tak kunjung usai.