Ratusan Jurusan Bahasa Asing di China Ditutup, AI Mengubah Peta Pendidikan Global
Kecanggihan AI penerjemah mulai menggusur ratusan program studi bahasa asing di universitas-universitas China, memicu perdebatan tentang masa depan pendidikan bahasa di era digital.

Matahari pagi menyinari halaman kampus Beijing Jiaotong University, namun suasana di salah satu gedung perkuliahan terasa berbeda. Ruang kelas yang biasanya dipenuhi mahasiswa jurusan bahasa asing kini tampak kosong. Pengumuman penutupan beberapa program studi bahasa, termasuk bahasa Prancis dan Jerman, terpampang jelas di papan pengumuman fakultas.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Beijing Jiaotong University. Sejak pertengahan 2025, lebih dari 130 universitas di China mengumumkan penutupan program studi bahasa asing. Banyak kampus memilih untuk merampingkan jurusan yang dianggap tak lagi relevan di tengah serbuan teknologi penerjemah berbasis AI yang makin canggih.
Profesor Dai Jiangwen, Kepala Departemen Bahasa Inggris di Beijing Jiaotong University, mengakui perubahan ini merupakan konsekuensi dari kemajuan teknologi. Dalam wawancara dengan media lokal, ia mengatakan, universitas harus beradaptasi dengan kebutuhan pasar kerja yang kini lebih fokus pada kecakapan teknologi dan pengembangan AI, bukan sekadar kemampuan menerjemahkan bahasa secara manual.
Di era AI, aplikasi penerjemah berbasis machine learning seperti generative AI translation tools telah mampu menerjemahkan dokumen kompleks dalam hitungan detik dengan akurasi yang mendekati sempurna. Hal ini membuat beberapa profesi penerjemah dan pengajar bahasa asing mulai kehilangan relevansinya, terutama untuk bahasa-bahasa yang jarang digunakan di dunia bisnis internasional.
Data dari Kementerian Pendidikan China menunjukkan bahwa penutupan jurusan bahasa ini adalah bagian dari restrukturisasi besar-besaran dalam dunia pendidikan tinggi. Fokus kini bergeser ke bidang yang lebih terkait dengan teknologi, seperti pengembangan AI, data science, dan ekonomi digital.
Banyak mahasiswa yang sebelumnya bercita-cita menjadi penerjemah atau ahli bahasa kini mulai mengalihkan minatnya ke jurusan yang berkaitan dengan teknologi. Mereka melihat peluang karier yang lebih luas di bidang kecerdasan buatan, software engineering, atau pengembangan aplikasi penerjemah berbasis AI.
Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan: apakah tren yang sama bisa terjadi di Indonesia?
Menurut analis teknologi edukasi, tantangan ini berpotensi menghampiri Indonesia dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Meskipun kebutuhan akan pembelajaran bahasa asing seperti Inggris, Mandarin, atau Jepang masih tinggi di Tanah Air, namun otomatisasi di sektor terjemahan dan komunikasi lintas bahasa mulai terasa. Beberapa sekolah dan lembaga kursus sudah menggunakan aplikasi penerjemah AI dalam kegiatan belajar, setidaknya untuk latihan percakapan atau menerjemahkan teks sederhana.
Indonesia memang memiliki perbedaan konteks dengan China, terutama dalam hal kebutuhan tenaga kerja di sektor pendidikan dan pariwisata yang masih memerlukan kemampuan berbahasa asing secara manual. Namun, perkembangan AI tetap menjadi faktor yang harus diantisipasi. Jika tidak beradaptasi, beberapa jurusan di kampus-kampus Indonesia juga bisa terancam kehilangan peminat dalam jangka panjang.
Perubahan ini mengajarkan satu hal penting: di era teknologi seperti sekarang, dunia pendidikan harus siap bertransformasi. Bukan hanya sekadar mengajarkan bahasa, tetapi juga melatih generasi muda untuk memahami budaya, komunikasi lintas negara, dan kolaborasi global yang tak bisa digantikan sepenuhnya oleh mesin.