FintalkUpdate News

Fenomena Rojali dan Rohana, Ramai Pengunjung, Sepi Transaksi

Fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) makin sering terlihat di mal dan pusat perbelanjaan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Suasana akhir pekan di pusat perbelanjaan Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, terasa begitu semarak. Musik dari pengeras suara menyambut pengunjung, lampu-lampu etalase menyala terang, dan antrean panjang terlihat di gerai makanan cepat saji. Namun, di dalam toko-toko fesyen, aktivitas transaksi justru berjalan lambat. Banyak pengunjung yang hanya melihat-lihat, mencoba produk, lalu pergi tanpa berbelanja.

Rini Wulandari, pramuniaga di salah satu butik busana ternama, menyampaikan pengalamannya kepada media, Minggu (3/8/2025). Ia mengaku bahwa sepanjang hari mal ramai oleh pengunjung, tetapi hanya sedikit yang benar-benar melakukan pembelian. Banyak di antara mereka yang sekadar mencoba pakaian atau bertanya harga, kemudian meninggalkan toko dengan tangan kosong. Fenomena ini disebut Rojali dan Rohana—istilah yang kini viral di media sosial dan menjadi sorotan para pengamat ekonomi.

Manajemen pusat perbelanjaan mengonfirmasi bahwa kunjungan pengunjung mengalami peningkatan sekitar 12 persen dibanding tahun lalu. Namun, angka tersebut tidak sejalan dengan volume transaksi yang justru menurun sebesar 8 persen dalam periode yang sama. Fakta ini mengindikasikan bahwa terjadi pergeseran perilaku konsumen di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai bahwa gejala Rojali dan Rohana menunjukkan pelemahan daya beli yang semakin nyata di masyarakat. Menurutnya, kehadiran orang di mal atau toko tidak bisa langsung diartikan sebagai peningkatan konsumsi. Banyak masyarakat yang datang hanya untuk refreshing, menikmati suasana, atau sekadar menghindari panasnya cuaca di luar ruangan. Di sisi lain, tekanan ekonomi membuat mereka berhati-hati dalam mengeluarkan uang.

Read More  Bridgestone TURANZA 6 ENLITEN Resmi Lengkapi Mitsubishi Destinator

Eko menjelaskan bahwa inflasi pangan, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta pendapatan yang stagnan menjadi penyebab utama penurunan daya beli rumah tangga. Ia menambahkan, fenomena ini tidak hanya berdampak pada pelaku usaha ritel, tetapi juga berpengaruh besar terhadap kinerja ekonomi nasional secara keseluruhan.

Dalam wawancara terpisah, pengamat pemasaran Yuswohady menyebut perilaku konsumen saat ini telah memasuki fase “wait and see”. Keinginan untuk membeli masih ada, namun keputusan untuk melakukan pembelian seringkali ditunda atau bahkan dibatalkan. Menurutnya, pelaku usaha harus mampu membaca kondisi ini dengan mengatur strategi promosi dan pengalaman berbelanja yang lebih relevan dengan kondisi konsumen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2025 hanya mencapai 4,8 persen, lebih rendah dari target pemerintah. Jika tren ini berlanjut, maka pertumbuhan ekonomi nasional yang dipatok sebesar 5 persen pada akhir tahun kemungkinan besar tidak akan tercapai. Beberapa brand global bahkan mulai menyesuaikan target penjualan mereka di Indonesia dan menahan stok barang secara signifikan.

Fenomena Rojali dan Rohana menjadi gambaran paling kasat mata tentang kondisi ekonomi masyarakat. Aktivitas konsumsi yang menurun bukan semata karena perubahan gaya hidup, tetapi lebih karena tekanan kebutuhan dasar yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima. Pemerintah perlu merespons dengan kebijakan yang mampu meredam lonjakan harga serta memperkuat daya beli masyarakat, terutama dari sisi lapangan kerja dan perlindungan sosial.

Meski terlihat ramai, mal dan toko-toko kini menyimpan ironi ekonomi. Belanja tak lagi menjadi prioritas utama, dan kantong masyarakat semakin ketat. Di balik keramaian, ada kecemasan yang sunyi—tentang bagaimana bertahan di tengah ekonomi yang semakin menantang.

Back to top button