FintalkUpdate News

Mengapa Generasi Ayah Ibu Lebih Mudah Punya Rumah

Harga rumah yang melonjak, stagnasi gaji, dan tekanan hidup membuat generasi muda kesulitan memiliki hunian seperti orang tua mereka dulu.

Di masa lalu, memiliki rumah sebelum usia 30 tahun bukanlah hal yang luar biasa. Generasi ayah dan ibu kita sering kali membeli rumah hanya beberapa tahun setelah menikah, bahkan dengan gaji yang relatif sederhana. Namun, bagi generasi Milenial dan Gen Z, impian memiliki rumah justru semakin menjauh, tergeser oleh realitas ekonomi yang jauh lebih kompleks.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa harga rumah di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya telah melonjak lebih dari 300 persen dalam dua dekade terakhir. Sementara itu, pertumbuhan gaji pekerja muda hanya naik sekitar 3 hingga 5 persen per tahun. Ketimpangan ini membuat rumah menjadi aset yang makin sulit dijangkau.

“Dulu, rumah tipe 36 bisa dibeli dengan gaji dua tahun. Sekarang, gaji lima tahun pun belum tentu cukup,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS).

Selain harga rumah yang melambung, generasi muda juga menghadapi tekanan biaya hidup yang meningkat tajam. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan pendidikan naik hingga 20 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Banyak anak muda juga harus menanggung beban finansial ganda, mulai dari orang tua yang pensiun hingga adik yang masih sekolah.

Gaya hidup digital turut memperparah situasi. Kemudahan akses ke layanan paylater, pinjaman online, dan pengaruh media sosial mendorong perilaku konsumtif yang menghambat kemampuan menabung. Survei Katadata Insight Center mencatat bahwa lebih dari 40 persen Milenial memiliki utang konsumtif aktif yang berdampak langsung pada rencana jangka panjang seperti membeli rumah.

Read More  Kapitalisasi Pasar Altcoin Anjlok, Ini Kata Analis soal Arah Tren Kripto

Di sisi lain, stabilitas ekonomi yang dinikmati generasi sebelumnya kini berganti dengan ketidakpastian. Pada era Orde Baru, industri pengolahan tumbuh pesat hingga 12 persen per tahun, menciptakan banyak pekerjaan tetap dengan gaji stabil. Generasi muda saat ini justru menghadapi pasar kerja yang fluktuatif, kontrak pendek, dan persaingan global yang ketat.

“Generasi sebelumnya hidup di masa ekonomi yang stabil. Sekarang, anak muda harus bertahan di tengah disrupsi teknologi dan ketidakpastian ekonomi,” tambah Bhima.

Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), namun akses dan efektivitasnya masih terbatas. Banyak anak muda berharap ada reformasi kebijakan perumahan yang lebih inklusif dan realistis, agar rumah kembali menjadi hak dasar, bukan sekadar mimpi.

Generasi ayah dan ibu kita membeli rumah di era yang lebih bersahabat secara ekonomi. Sementara generasi sekarang harus berjuang di tengah harga properti yang melambung, gaji stagnan, dan tekanan hidup yang kompleks. Rumah bukan lagi sekadar bangunan, tapi kini menjadi simbol ketimpangan antar generasi.

Back to top button