Utang Negara Naik, Dampaknya Sampai ke Dapur Keluarga
Utang pemerintah Indonesia tembus Rp 9.187 triliun, dan dampaknya tak lagi hanya soal fiskal—tapi juga pengelolaan rumah tangga.

Pemerintah Indonesia mencatatkan total utang sebesar Rp 9.187,7 triliun pada triwulan pertama 2025. Mayoritas utang berasal dari surat berharga negara (SBN) dan pinjaman luar negeri, dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 39,13 persen. Meski masih di bawah ambang batas aman 60 persen, para ekonom menilai indikator lain seperti debt service ratio dan rasio utang terhadap pendapatan negara sudah menunjukkan lampu kuning2.
Lonjakan utang ini bukan hanya soal angka makroekonomi. Di baliknya, ada dampak nyata yang merembes ke pengelolaan keuangan keluarga. Ketika hampir 20 persen APBN terserap untuk membayar bunga utang, ruang fiskal untuk subsidi, pendidikan, dan bantuan sosial menjadi semakin sempit. Artinya, beban hidup masyarakat bisa meningkat, terutama bagi keluarga kelas menengah dan rentan.
Keluarga kini menghadapi tekanan ganda: harga kebutuhan pokok yang naik, subsidi yang menyusut, dan ketidakpastian ekonomi global. Dalam jangka panjang, utang negara yang tidak dikelola dengan bijak bisa memicu inflasi, memperlemah nilai tukar, dan mengurangi daya beli rumah tangga. Ketika pemerintah harus menambah utang baru untuk membayar utang lama, risiko spiral fiskal pun mengintai.
Di sisi lain, utang luar negeri Indonesia terus tumbuh. Per Januari 2025, totalnya mencapai US$ 427,5 miliar atau sekitar Rp 7.043 triliun. Berikut daftar 8 negara pemberi utang terbesar ke Indonesia:
1,Singapura – US$ 55,7 miliar
2.Amerika Serikat – US$ 27,6 miliar
3.China – US$ 23,25 miliar
4.Jepang – US$ 20,85 miliar
5.Hong Kong – US$ 18,59 miliar
6.Korea Selatan – US$ 8,43 miliar
7.Perancis – US$ 6,42 miliar
8.Jerman – US$ 5,09 miliar
Utang dari lembaga multilateral seperti Bank Dunia (IBRD), ADB, dan IMF juga masih signifikan. Pemerintah menyatakan bahwa sebagian besar pinjaman digunakan untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Namun, efektivitasnya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat masih dipertanyakan.
Di tengah tekanan fiskal, keluarga Indonesia perlu lebih cermat dalam mengelola keuangan. Pemerintah pun dituntut untuk transparan, efisien, dan berani mereformasi belanja negara agar utang tidak menjadi beban lintas generasi. Karena pada akhirnya, utang negara bukan hanya urusan elite ekonomi—tapi juga urusan dapur rakyat.