TechnoUpdate News

Sarjana Ilmu Komputer Kini Sulit Dapat Kerja, AI Jadi Penyebabnya

Lulusan Ilmu Komputer di Inggris dan Indonesia kini menghadapi pasar kerja yang menyusut, terdampak disrupsi AI yang menggerus peluang entry-level.

Masa depan gemilang yang dulu disematkan pada jurusan Ilmu Komputer kini mulai retak oleh kenyataan pahit: banyak lulusan kesulitan mendapat pekerjaan. Detik melaporkan kisah Eddie Hart, sarjana keamanan siber dari Universitas Newcastle, yang harus menghadapi lamaran yang automatic, selektif, dan menuntut pengalaman—meskipun posisi yang diincarnya adalah entry-level. AI ikut ambil andil dalam proses penyaringan lamaran yang kaku, membuat lamaran Hart ditolak tanpa interaksi manusiawi.

Fenomena ini bukan sekadar isolasi. Laporan Times of India menyoroti bahwa lulusan Ilmu Komputer menghadapi pasar kerja yang menyempit karena AI mengurangi kebutuhan akan peran dasar entry-level. Di Inggris, alumni harus mengirim ratusan, kadang ribuan lamaran sebelum diterima, menandakan bahwa peluang mulai dipangkas oleh automasi proses HR. Sebuah riset Stanford bahkan menunjukkan penurunan 16% lapangan kerja pada kelompok usia 22–25 untuk sektor seperti pengembangan software sejak akhir 2022, menandakan AI telah menggantikan banyak peran junior.

Kondisi ini memperingatkan bahwa pipeline talenta muda dalam bidang teknologi bisa terkendala. Jika peran entry-level terus berkurang, regenerasi talent ke posisi senior bisa terhambat—dengan implikasi serius bagi inovasi dan keberlanjutan industri teknologi.

Sementara di Indonesia, tren serupa mulai terlihat, meski belum separah di Inggris. Data menunjukkan lulusan Teknik Komputer dan Ilmu Komputer kini turut menyumbang tingginya tingkat pengangguran sarjana, seperti di Amerika; ABC 6,1%, dan Teknik Komputer 7,5%. Tantangan terbesar tak hanya soal AI, tapi juga mismatch kompetensi: banyak fresh graduate belum memiliki kemampuan teknis maupun soft skill yang dibutuhkan industri. Pengalaman dari sektor lokal bahkan menyoroti kurangnya pemahaman alat dasar—seperti Linux, Git, atau logika coding yang solid—sebagai hambatan tambahan.

Read More  FIFGROUP Resmikan Program ILP, Perkuat Layanan Kesehatan Primer di Semarang

Namun, masih ada sinyal positif di tengah tantangan ini. Beberapa ahli menyebut pergeseran ke skill-based hiring sebagai jawaban. Di Inggris, permintaan keahlian AI naik 21% tapi persyaratan gelar menurun. Artinya, kemampuan praktis menjadi lebih bernilai dibanding sekadar ijazah . Para lulusan juga didorong untuk mengembangkan keahlian AI, jaringan profesional, maupun portofolio proyek relevan yang bisa memperkuat posisi mereka di mata HR.

Di Indonesia, pendekatan serupa sangat dibutuhkan: kurikulum pendidikan perlu diperbaharui agar relevan dengan kebutuhan industri; magang, program sertifikasi, serta kolaborasi dengan dunia kerja harus lebih ditingkatkan agar mengurangi jurang antara kampus dan lapangan kerja.

Back to top button