TechnoUpdate News

AI di Asia Pasifik: 85% Mengaku Siap, Hanya 11% Terbukti Siap

Studi terbaru IBM mengungkap kesenjangan besar antara ambisi dan kesiapan nyata perusahaan di Asia Pasifik dalam mengadopsi AI dan teknologi Industri 4.0.

Studi terbaru yang diinisiasi IBM (NYSE: IBM) mengungkap bahwa meskipun organisasi di Asia Pasifik telah meningkatkan investasi dalam teknologi AI dan digitalisasi Industri 4.0, banyak yang menilai kesiapan mereka lebih tinggi dari kenyataan. Kesenjangan ini menunjukkan peluang besar: dengan strategi yang tepat, perusahaan dapat mengubah ambisi menjadi aksi nyata dan mempercepat transisi menuju Industri 5.0.

Laporan berjudul “APAC AI-Driven Industry 4.0: Building Tomorrow’s Industries” menilai kesiapan perusahaan besar di sektor manufaktur, energi, dan utilitas. Banyak perusahaan telah berinvestasi lebih awal dalam teknologi digital, terutama di bidang desain dan rantai pasok. Namun, untuk memaksimalkan manfaatnya, dibutuhkan visibilitas menyeluruh, koordinasi lintas fungsi, dan fondasi digital berbasis AI yang kuat.

Meski 85% responden mengklaim telah menjadi organisasi “Data-Driven” atau “AI-First,” studi IBM menemukan bahwa hanya 11% yang benar-benar berada pada tahap kesiapan tinggi. Penilaian yang terlalu optimis ini berisiko membuat investasi strategis salah arah, karena perusahaan bisa mengabaikan hambatan mendasar yang menghambat transformasi.

Hambatan tersebut mencakup strategi yang belum terintegrasi, minimnya program peningkatan keterampilan, eksekusi teknologi yang terisolasi, dan lambatnya modernisasi sistem inti. Banyak organisasi menjalankan proyek AI secara ad hoc di tingkat departemen, tanpa mekanisme berbagi pengetahuan lintas tim. Bahkan, hanya sebagian kecil yang menjadikan AI sebagai pilar strategis dalam operasional mereka.

Peralihan menuju Industri 5.0, yang menempatkan manusia, keberlanjutan, dan ketahanan sebagai inti, masih menghadapi tantangan besar. Hanya 23% organisasi yang memiliki mekanisme umpan balik pelanggan untuk mendukung pengambilan keputusan strategis, dan hanya 28% yang berinvestasi dalam pemantauan keberlanjutan secara real-time. Di sisi keamanan siber, setengah dari organisasi masih mengandalkan kontrol dasar, tanpa adopsi praktik lanjutan seperti SIEM atau tata kelola berbasis AI.

Read More  Banyak Anak Muda Tak Produktif, Orang Tua Menanggung Beban Finansial

Meski demikian, laporan IBM juga menyoroti sejumlah perusahaan di Asia Pasifik yang telah menunjukkan kepemimpinan nyata. Dongjin Semichem di Korea Selatan menggunakan platform Gen AI lokal bernama ASK untuk mempercepat pengambilan keputusan berbasis data. SMART Modular Technologies di Malaysia mengadopsi IBM Maximo Visual Inspection untuk otomatisasi penjaminan kualitas. Volkswagen FAW Engine di Cina berhasil memangkas waktu tunggu hingga 40% melalui integrasi 5G, AI, dan robotika otonom.

Presiden Direktur IBM Indonesia, Roy Kosasih, menyatakan bahwa kawasan Asia Pasifik memiliki posisi unik untuk memimpin transformasi industri berbasis AI. Ia menekankan pentingnya membangun fondasi digital yang aman dan adaptif, serta memberdayakan sumber daya manusia untuk mengubah ide berani menjadi aksi nyata. Menurutnya, manusia tetap menjadi inti dari bisnis.

Untuk menjembatani kesenjangan antara ambisi dan realita, organisasi perlu mengadopsi pendekatan strategis yang menyeluruh. Transformasi digital harus selaras dengan hasil bisnis, didukung oleh platform teknologi yang kuat, dan berfokus pada integrasi data lintas fungsi. Selain itu, pemikiran Industri 5.0 perlu ditanamkan sejak sekarang, agar perusahaan siap menghadapi masa depan yang lebih kompleks dan berpusat pada manusia.

Kepemimpinan digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang bagaimana organisasi membangun kepercayaan, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi. AI tetap menjadi alat pemberdayaan terbaik, namun hanya akan efektif jika dijalankan dengan strategi yang matang dan inklusif.

Back to top button