Anak dan Remaja Masih Mendominasi Korban Kecelakaan Lalu Lintas
Angka kecelakaan lalu lintas pada anak dan remaja di Indonesia masih tinggi. Butuh solusi komprehensif untuk menekan angka korban dari generasi muda.

Suara sirene ambulan kembali terdengar di ruas Jalan Raya Bogor siang itu. Seorang siswa SMP tergeletak di pinggir jalan, mengalami luka serius setelah sepeda motornya bertabrakan dengan angkot yang berhenti mendadak. Ia tidak mengenakan helm. Di sekelilingnya, kerumunan warga hanya bisa geleng-geleng kepala: “Lagi-lagi anak sekolah.”
Pemandangan memilukan anak dan remaja terlibat kecelakaan lalu lintas masih terlalu sering kita jumpai di berbagai kota besar di Indonesia. Meski regulasi telah ada dan kampanye keselamatan terus digaungkan, angka korban dari kalangan muda tetap tinggi dan mengkhawatirkan.
Data Korlantas Polri menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat lebih dari 33.800 korban kecelakaan lalu lintas berusia 15–19 tahun, menjadikan kelompok usia ini sebagai salah satu yang paling rentan di jalanan. Disusul usia 20–24 tahun dengan lebih dari 28.200 korban. Di provinsi seperti Kepulauan Riau, bahkan 24,77% korban kecelakaan berasal dari anak usia sekolah, menurut data dari Polda Kepri.
“Kami melihat tren yang berulang setiap tahun. Usia remaja mendominasi korban kecelakaan, terutama karena mereka kerap mengendarai kendaraan tanpa SIM, tidak pakai helm, dan sering abai terhadap rambu lalu lintas,” ujar Brigjen. Pol. Aan Suhanan, Kepala Korlantas Polri, dalam konferensi pers di Jakarta, Maret lalu.
Faktor pemicu lainnya adalah kurangnya edukasi keselamatan lalu lintas yang terintegrasi dalam kurikulum sekolah, serta lemahnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas berkendara anak mereka.
Menurut Edo Rusyanto, pengamat keselamatan jalan dari Jaringan Aksi Keselamatan Jalan (JAKJ), fenomena ini juga diperburuk oleh budaya permisif di masyarakat. “Anak usia SMP atau SMA seringkali diizinkan orang tuanya naik motor sendiri, padahal secara hukum belum layak. Ini seperti bom waktu.”
Salah satu contoh kasus terjadi di Tangerang Selatan awal tahun ini. Dua pelajar SMA mengalami kecelakaan fatal setelah sepeda motor mereka melaju kencang dan menabrak trotoar saat malam minggu. Polisi menyebut, keduanya tidak memiliki SIM dan kendaraan dipinjam dari orang tua.
Apa yang Harus Dilakukan?
Solusi dari masalah ini harus bersifat holistik dan kolaboratif. Para ahli menyebut bahwa pendekatan tidak cukup hanya dengan penindakan hukum, tetapi juga perlu edukasi sejak dini.
“Kami mendesak agar pendidikan lalu lintas masuk dalam pelajaran wajib di sekolah, bukan hanya saat ada kunjungan polisi,” kata Djoko Setijowarno, akademisi transportasi dari Unika Soegijapranata.
Korlantas Polri sendiri telah menggagas program “Police Goes to School” di beberapa wilayah, namun masih bersifat sporadis. Beberapa daerah juga mulai menggandeng Dinas Pendidikan dan komunitas keselamatan jalan untuk membuat modul khusus yang mengajarkan anak-anak tentang pentingnya rambu, helm, dan etika berkendara.
Selain itu, peran teknologi dan media sosial juga perlu dimaksimalkan. Kampanye digital yang menyasar Gen Z terbukti mampu menjangkau lebih luas, apalagi jika menggandeng influencer yang relevan.
Anak-anak dan remaja adalah generasi penerus, namun jika mereka terus menjadi korban di jalan raya, kita harus bertanya: siapa yang salah? Pemerintah, sekolah, orang tua, atau masyarakat secara keseluruhan?
Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperkuat sistem perlindungan anak di ruang publik, termasuk jalan raya. Karena sejatinya, keselamatan bukan hanya soal peraturan, tapi soal budaya yang harus dibentuk bersama.