FintalkUpdate News

Anjani Sekar Arum, Membatik Harapan di Kaki Gunung

Di kaki Gunung Pucung, seorang perempuan muda menyalakan obor budaya lewat batik dan pendidikan untuk anak-anak desanya.

Di sebuah desa di kaki Gunung Pucung, pagi selalu dimulai dengan jendela terbuka, embun apel, dan suara jidor dari kejauhan. Di tengah tenangnya Desa Sejahtera Astra Bumiaji, satu tangan bekerja di atas kain putih, bukan sekadar mencanting motif, tapi menghidupkan kembali warisan.

Namanya Anjani Sekar Arum. Ia membatik bukan hanya untuk berkarya, tapi untuk mengajak desa ikut bergerak. Bersama anak-anak, ia membuka jalan baru—mengenalkan budaya, menyentuh pendidikan, dan menyalakan harapan.

Lulusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang ini memulai langkahnya sejak 2014, memamerkan batik buatannya di Galeri Raos Batu. Salah satu karyanya bahkan menarik perhatian Kedutaan Besar Ceko. Setahun berselang, batiknya menembus pasar internasional. Namun kisah paling besarnya justru dimulai saat ia kembali ke kampung halaman—mengajar anak-anak membatik, bukan sekadar untuk jadi pengrajin, tapi agar mereka mengenal budaya dari tangan mereka sendiri.

Atas kiprah tersebut, pada 2017 Anjani menerima SATU Indonesia Awards dari Astra. Dari sanalah lahir Omah Pembatik Cilik, ruang belajar budaya yang kini menampung lebih dari 80 siswa dari delapan sekolah di Bumiaji. Di sana, anak-anak belajar mencanting, memilih warna, dan bercerita lewat batik karya mereka sendiri.

Kolaborasi dengan Astra melalui program Desa Sejahtera Astra memperkuat langkah Anjani. Program ini hadir bukan untuk mengambil alih, melainkan mendampingi—melalui pelatihan usaha, pendampingan, hingga promosi. UMKM mulai belajar mengemas produk, membangun cerita, dan menjangkau pembeli baru. Tidak semua berubah drastis, tapi cukup untuk membuat langkah mereka lebih mantap.

Read More  Perubahan Iklim Bisa Picu Emosi Negatif, Studi Ungkap Dampak Psikologis Global

Dalam rangkaian kegiatan Roadshow Lomba Foto Astra dan Anugerah Pewarta Astra 2025, lebih dari 100 peserta—jurnalis, komunitas, dan pewarta warga—datang ke Bumiaji. Bukan hanya belajar fotografi, mereka juga menyimak kisah di balik kain, kopi, dan kuliner lokal.

Ketika orang datang melihat batik, mereka juga mencicipi rujak jambu, membeli pie apel, dan membawa pulang kopi tubruk. UMKM ikut tumbuh. Pak Soleh dari CV Permata Agro Mandiri, misalnya, kini mempekerjakan 25 orang dan mencatat omzet Rp150 juta per bulan dari olahan apel seperti pie, pia, dan dodol. Dulu buah-buah sisa hanya dibuang. Kini, jadi oleh-oleh berkelas.

Bantengan Bocil dan Tawa yang Tidak Hilang

Anjani juga menggagas pertunjukan bantengan bocil, versi anak-anak dari kesenian tradisional bantengan. Tak ada dupa, tak ada mistik—hanya gerakan silat, batik di kepala, dan anak-anak yang belajar tampil percaya diri.

“Melalui itu, mereka bergerak. Mereka tampil. Dan mereka punya alasan untuk bangga pada budayanya,” ujar Anjani. “Keberhasilan tidak selalu soal angka, kadang datang dalam bentuk kesadaran kecil. Ketika turis asing menginap di rumah warga, anak-anak mulai belajar bahasa Inggris. Bukan karena disuruh, tapi karena merasa perlu. Itu tanda mereka sudah mulai melihat potensi desanya.”

Cerita Anjani mungkin tidak heboh, tapi terasa. Ia tidak menjual ribuan produk, tapi memberi ruang bagi anak-anak untuk tumbuh, bagi warga untuk ikut serta, dan bagi budaya untuk kembali hidup—di tangan mereka yang mengenalnya sejak kecil.

Back to top button