Apa Itu Persetujuan Bangunan Gedung? Mengapa Baru 50 Ponpes di Indonesia yang Sudah Kantongi Izin
Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) menjadi syarat penting agar bangunan aman dan legal, namun Menteri AHY mengungkap baru 50 pondok pesantren di Indonesia yang memilikinya.
Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) baru-baru ini menyita perhatian publik. Ia menyebut, dari lebih dari 42 ribu pondok pesantren di Indonesia, baru sekitar 50 ponpes yang memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Padahal, izin ini menjadi dasar penting untuk memastikan bangunan memenuhi standar keselamatan dan kelayakan struktur.
Kondisi ini semakin disorot setelah peristiwa runtuhnya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, yang menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Tragedi tersebut membuka mata banyak pihak bahwa keamanan bangunan pendidikan dan keagamaan harus menjadi prioritas. AHY menegaskan, pemerintah tengah berupaya mempercepat penerbitan PBG bagi bangunan publik agar peristiwa serupa tidak terulang.
PBG merupakan bentuk perizinan yang menggantikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, PBG adalah persetujuan resmi dari pemerintah bahwa suatu bangunan telah memenuhi standar teknis, meliputi aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesesuaian fungsi. Prosesnya dilakukan melalui sistem digital SIMBG (Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung) yang dikelola Kementerian PUPR.
Berbeda dari IMB yang hanya mengatur izin mendirikan, PBG menekankan aspek teknis dan keamanan struktur. Melalui PBG, bangunan dipastikan dirancang dengan konstruksi yang kuat, sistem utilitas yang aman, serta tata ruang yang sesuai dengan peruntukan wilayah. Pemeriksaan ini mencakup pondasi, struktur bangunan, instalasi listrik, ventilasi, hingga sarana keselamatan kebakaran.
Manfaat PBG tidak hanya pada sisi legalitas, tetapi juga keselamatan pengguna. Bangunan tanpa PBG berisiko dinilai ilegal dan dapat dikenai sanksi berupa pembatasan penggunaan bahkan pembongkaran. Di sisi lain, bangunan yang memiliki PBG cenderung lebih bernilai karena dianggap aman, tertib, dan memenuhi kaidah hukum.
Bagi fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, atau pondok pesantren, keberadaan PBG menjadi simbol tanggung jawab sosial. Izin ini memastikan bahwa tempat-tempat yang menampung banyak orang dibangun secara layak, tidak membahayakan, dan siap digunakan untuk jangka panjang.
Namun, kenyataannya baru segelintir ponpes yang memiliki izin tersebut. Minimnya sosialisasi, keterbatasan dana, dan kurangnya pemahaman teknis menjadi kendala utama. Banyak pengurus ponpes yang belum memahami pentingnya PBG dan menganggap prosesnya rumit serta mahal.
Pemerintah kini didorong untuk mengambil langkah cepat. Pendataan dan pemetaan ponpes yang belum memiliki PBG harus dilakukan agar proses legalisasi bisa dipercepat. Selain itu, perlu ada dukungan anggaran dan bimbingan teknis bagi pesantren agar dapat memenuhi syarat administrasi maupun teknis konstruksi.
AHY menegaskan, PBG bukan semata urusan izin, tetapi juga soal keselamatan umat. Dengan memiliki PBG, pondok pesantren dapat memastikan bangunannya layak digunakan, aman bagi santri, dan memiliki kekuatan hukum yang jelas.
Kesadaran tentang pentingnya PBG diharapkan menjadi titik awal perubahan budaya pembangunan yang lebih tertib dan bertanggung jawab di Indonesia. Jika seluruh fasilitas publik memenuhi standar ini, keselamatan masyarakat bisa lebih terjamin, dan tragedi akibat kelalaian konstruksi tidak perlu lagi terjadi.





