Aplikasi Zangi Jadi Sorotan, Diduga Dipakai Ammar Zoni untuk Transaksi Narkoba di Rutan Salemba
Aplikasi pesan terenkripsi Zangi kini ramai diperbincangkan setelah diduga digunakan aktor Ammar Zoni untuk bertransaksi narkoba dari balik Rutan Salemba.
Nama aplikasi Zangi mendadak menjadi perbincangan publik setelah muncul dalam kasus dugaan transaksi narkoba yang melibatkan aktor Ammar Zoni di Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Aplikasi ini disebut-sebut menjadi sarana komunikasi rahasia antara Ammar dan pihak luar, berkat sistem enkripsi tingkat tinggi yang sulit dilacak aparat.
Menurut penelusuran, Zangi Messenger merupakan aplikasi asal Armenia yang dikembangkan oleh Zangi Messenger Ltd. Aplikasi ini menawarkan fitur end-to-end encryption tanpa penyimpanan data di server, membuat seluruh pesan, panggilan suara, dan video bersifat peer-to-peer (P2P) langsung antar pengguna. Berbeda dari WhatsApp atau Telegram, Zangi mengklaim tidak menyimpan log, metadata, atau alamat IP pengguna, sehingga privasi benar-benar dijaga.
Pakar keamanan siber dari CISSReC, Pratama Persadha, menjelaskan bahwa aplikasi seperti Zangi sebenarnya dibuat untuk tujuan positif, seperti melindungi komunikasi dari peretasan atau penyadapan. Namun, sistem keamanan yang terlalu tertutup juga sering dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab.
âTeknologi enkripsi memang penting untuk menjaga privasi, tapi jika digunakan untuk aktivitas ilegal, aparat akan kesulitan menelusuri jejak digitalnya,â ujar Pratama.
Zangi sendiri memiliki lebih dari 10 juta pengguna global, dan banyak dipakai di negara-negara dengan tingkat pengawasan digital tinggi. Namun, di Indonesia, aplikasi ini belum begitu populer dan tidak tersedia secara luas di toko aplikasi lokal seperti Play Store Indonesia.
Kasus Ammar Zoni menyoroti bagaimana teknologi komunikasi privat bisa menjadi tantangan baru bagi aparat penegak hukum. Polisi disebut tengah mempelajari cara kerja aplikasi ini untuk melacak kemungkinan aliran komunikasi terkait jaringan narkoba.
Meski demikian, para pakar menilai solusi terbaik bukan melarang aplikasi terenkripsi, melainkan meningkatkan literasi digital dan kemampuan digital forensik aparat. âPrivasi digital dan keamanan publik harus berjalan beriringan. Kuncinya ada pada regulasi dan edukasi, bukan pelarangan,â tambah Pratama.





