Banjir Bandang Terparah 70 Tahun di Denpasar, Alih Fungsi 1.000 Hektare Lahan Bali Jadi Sorotan
Banjir bandang terbesar dalam 70 tahun melanda Denpasar, Bali, menelan korban jiwa dan memaksa ribuan orang mengungsi, sementara alih fungsi lahan 1.000 hektare per tahun disebut sebagai salah penyebabnya.
Banjir bandang melanda Denpasar dan sejumlah wilayah di Bali, Rabu (10/9/2025), menjadi yang terparah dalam 70 tahun terakhir. Derasnya hujan dua hari berturut-turut membuat sungai meluap, permukiman terendam, dan tanah longsor menutup akses jalan. Akibatnya, belasan korban jiwa ditemukan, ratusan warga dan turis mengungsi, serta puluhan rumah roboh diterjang arus.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali menyebut banjir kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Selain intensitas hujan ekstrem, faktor tata ruang juga berperan besar. Setiap tahun, Bali kehilangan rata-rata 1.000 hektare lahan produktifâtermasuk sawah, hutan, dan daerah resapan airâakibat alih fungsi untuk pembangunan hotel, vila, hingga fasilitas penunjang pariwisata.
âAlih fungsi lahan dalam skala besar membuat ruang resapan air makin menyusut. Air hujan yang seharusnya meresap ke tanah langsung lari ke permukiman dan jalan,â ujar pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kondisi ini diperparah dengan tumpukan sampah di sungai dan saluran drainase, yang menyumbat aliran air.
Banjir juga merendam kawasan perdagangan seperti Pasar Badung dan heritage Kumbasari, membuat aktivitas perekonomian lumpuh sementara. Para wisatawan yang sedang berlibur di pusat kota Denpasar ikut terdampak dan harus mengungsi ke posko darurat bersama warga.
Pemerintah daerah kini menetapkan status tanggap darurat. Bantuan logistik, obat-obatan, dan tenda pengungsian mulai didistribusikan. Namun, peristiwa ini menjadi alarm keras bahwa pembangunan Bali harus lebih berpihak pada lingkungan.
Bencana banjir bandang ini kembali menegaskan bahwa menjaga alamâmelindungi ruang hijau, hutan, dan daerah resapanâmerupakan bagian penting dari konsep safe & secure. Tanpa keseimbangan, pembangunan pariwisata justru membawa risiko besar bagi masyarakat maupun wisatawan.





