Banyak Anak Muda Kerja Ganda, Realita Baru di Tengah Kenaikan Biaya Hidup
Lonjakan biaya hidup memaksa banyak anak muda Indonesia mencari pekerjaan sampingan untuk tetap bertahan hidup.

Di sebuah kedai kopi kecil di bilangan Jakarta Selatan, Andini, 25 tahun, baru saja menyelesaikan pekerjaannya sebagai barista. Namun aktivitasnya belum selesai. Sambil mengemas laptop, ia bersiap menjalani shift berikutnya sebagai admin freelance untuk sebuah startup fashion. “Kalau cuma mengandalkan satu penghasilan, jujur nggak cukup buat bayar kos dan kebutuhan harian,” ujarnya.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Banyak Gen Z dan milenial Indonesia kini menjalani dua hingga tiga pekerjaan demi menyesuaikan diri dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, sewa tempat tinggal, dan gaya hidup urban.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut bahwa beban biaya hidup yang tinggi di kota-kota besar mendorong perubahan pola kerja generasi muda. “Survei kami menunjukkan, sekitar 38% anak muda urban saat ini memiliki pekerjaan sampingan. Ini bukan semata karena ingin tambahan penghasilan, tapi karena kebutuhan dasar mereka tidak tercukupi dari pekerjaan utama,” ujarnya.
Survei yang dilakukan oleh CELIOS bersama Indikator Politik Indonesia pada kuartal pertama 2025 mengungkap, kelompok usia 18–30 tahun menjadi segmen paling terdampak inflasi dan kenaikan harga pangan. Sebagian besar mengeluhkan gaji tetap stagnan, sementara harga sewa tempat tinggal, transportasi, dan makanan naik signifikan.
Situasi ini juga diperparah oleh minimnya jaminan kerja formal. Banyak anak muda kini bekerja sebagai kontrak atau freelance, tanpa tunjangan kesehatan atau jaminan sosial. Hal ini mendorong mereka untuk mengambil pekerjaan tambahan di malam hari atau akhir pekan.
“Dulu pekerjaan sampingan itu pilihan. Sekarang jadi kebutuhan,” ujar Ajeng Kurniawati, peneliti di Lembaga Demografi UI. Ia menekankan bahwa pemerintah perlu melihat ini sebagai indikator krisis biaya hidup yang serius.
Fenomena kerja ganda ini tentu berdampak pada kesejahteraan mental dan fisik anak muda. Jam tidur yang berkurang, beban kerja ganda, dan stres karena ketidakpastian penghasilan menjadi isu yang terus meningkat. Namun di sisi lain, kondisi ini juga mendorong munculnya wirausaha baru, di mana anak muda menjual keahlian digital, membuka toko daring, hingga mengelola konten di media sosial sebagai bentuk survival ekonomi.
Pemerintah perlu merespons cepat dengan memperluas akses pelatihan kerja, mendorong pertumbuhan UMKM digital, serta memperkuat sistem pengupahan yang adil. Jika tidak, kelelahan ekonomi generasi muda bisa berdampak panjang terhadap produktivitas dan struktur sosial bangsa ke depan.