Bitcoin Tahan Guncangan Global, Investor Tunggu Sinyal Positif
Bitcoin tetap tangguh meski pasar global diterpa ketegangan geopolitik dan ketidakpastian kebijakan suku bunga AS.

Di tengah memanasnya konflik Israel-Iran dan sikap hati-hati Federal Reserve Amerika Serikat yang kembali menahan suku bunga, pasar kripto menunjukkan ketahanan luar biasa. Bitcoin (BTC), sebagai aset digital utama, tetap diperdagangkan di kisaran US$104.250 atau setara dengan Rp1,7 miliar pada Kamis pagi.
Meski mencatat penurunan sekitar 5% dari rekor tertinggi sebulan lalu, data Tokocrypto memperlihatkan bahwa harga BTC bergerak stabil di tengah volatilitas global. Ethereum dan sejumlah altcoin cenderung stagnan, dengan investor menunggu arah kebijakan moneter jangka pendek dari The Fed.
Keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25%–4,50% dianggap mencerminkan kehati-hatian terhadap prospek ekonomi global. Ketua Jerome Powell menyebut ketidakpastian masih tinggi meskipun inflasi mulai melandai, yang memperkuat narasi pasar “wait and see” terhadap arah kebijakan selanjutnya.
Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menjelaskan bahwa pasar kripto sedang memasuki fase konsolidasi. “Bitcoin saat ini menguji zona support di US$104.000. Volume perdagangan menurun, indikator ADX berada di level 16 yang menandakan belum ada tren dominan, dan RSI netral di angka 45,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa struktur jangka panjang masih mendukung tren kenaikan karena pola golden cross antara EMA 50 dan EMA 200 hari tetap terjaga. Jika sinyal dovish muncul jelang FOMC Juli, BTC berpotensi menguat kembali ke zona US$110.000.
Bitcoin dan Konflik Global: Stabil di Tengah Gejolak
Meski Bitcoin dikenal sebagai aset berisiko, sejarah membuktikan bahwa BTC justru cenderung stabil saat terjadi konflik geopolitik besar. Dari perang Rusia-Ukraina (2022) hingga konflik Israel-Gaza (2023), dan kini eskalasi Israel-Iran pada 2025, harga BTC tidak mengalami penurunan signifikan dalam jangka panjang.
Bahkan setelah serangan rudal Israel ke Iran pada 13 Juni 2025, harga Bitcoin sempat terkoreksi namun cepat pulih. Hal ini diperkuat dengan langkah korporasi seperti Strategy, milik Michael Saylor, yang mengakuisisi 10.001 BTC senilai US$1 miliar hanya tiga hari setelah serangan, menunjukkan kepercayaan institusional terhadap masa depan aset kripto ini.
Menurut Fyqieh, konflik bersenjata sering memicu ekspektasi inflasi akibat lonjakan belanja fiskal dan gangguan pasokan, yang justru memberi nilai lebih bagi aset lindung nilai seperti Bitcoin. Meski tetap sensitif terhadap reaksi awal pasar, BTC dinilai memiliki daya tahan terhadap tekanan jangka pendek.
Bitcoin dalam Ekosistem Keuangan Global
Narasi Bitcoin juga mengalami pergeseran seiring meningkatnya kepemilikan institusional dari BlackRock, Coinbase, hingga pemerintah AS. Hal ini menjadikan Bitcoin semakin berkorelasi dengan pasar tradisional dan memperkuat fungsinya sebagai alat diversifikasi portofolio global.
“Bitcoin kini tak lagi berdiri sendiri. Faktor makroekonomi dan dinamika geopolitik sangat memengaruhi pergerakannya. Tapi justru itulah yang membuat BTC relevan sebagai aset global,” tutur Fyqieh.
BTC saat ini menghadapi resistansi teknikal di level US$106.500, diikuti zona kritis di US$108.800–US$110.000, dan titik psikologis di US$112.000. Sementara itu, support terdekat berada di US$102.000–US$103.000, dan zona jangka panjang di US$93.200 yang bertepatan dengan garis EMA 200 hari.
Dengan kapitalisasi pasar kripto global yang masih bertahan di kisaran US$3,25 triliun dan arus masuk ETF yang tetap positif, peluang pemulihan harga tetap terbuka. Pasar kini menanti sinyal baru dari The Fed dan arah perkembangan konflik global yang masih terus bergulir.