Bitcoin Tembus Rp1,84 Miliar, Akankah Mematahkan Kutukan “Red September”?
Harga Bitcoin kembali mencatat reli dengan menembus US$112.000 atau sekitar Rp1,84 miliar, di tengah optimisme pasar menjelang keputusan suku bunga The Fed.

Pergerakan harga Bitcoin (BTC) kembali memanas setelah menembus level US$112.000 pada perdagangan Rabu (3/9) malam, atau setara dengan Rp1,84 miliar dengan kurs Rp16.442 per dolar AS. Data CoinMarketCap menunjukkan BTC bahkan sempat menyentuh US$112.500 usai pembukaan Wall Street, sebelum bergerak stabil di kisaran US$112.067. Kenaikan ini mengonfirmasi area US$112.000 sebagai level likuiditas penting sekaligus mempertegas momentum bullish yang masih terjaga.
Data dari CoinGlass memperlihatkan sebagian besar likuiditas di area US$112.000 telah terserap, dengan target terdekat berada di kisaran US$114.000. Pasar dinilai sedang berusaha merebut kembali dukungan utama setelah sebelumnya sempat menyentuh titik terendah mingguan di US$107.270.
Meski aksi harga terlihat menjanjikan, bulan September selalu identik dengan kutukan “Red September.” Sejak 2013, Bitcoin tercatat turun pada delapan dari 12 periode September, dengan rata-rata return negatif 3,8%. Fenomena ini sering dianggap sebagai periode musiman yang menekan harga kripto terbesar di dunia. Namun pola historis tidak selalu berulang. Dalam dua tahun terakhir, Bitcoin justru berhasil menutup September di zona hijau, termasuk pada 2024 yang mencatat kenaikan 7,29%—terbaik sepanjang sejarah. Fakta ini memunculkan harapan bahwa tren negatif musiman bisa kembali dipatahkan tahun ini.
Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menilai ada faktor makroekonomi yang membuat prospek Bitcoin pada September 2025 tidak sepenuhnya suram. Menurutnya, BTC saat ini tengah menguji support kuat di kisaran US$105.000–110.000. Jika level ini bertahan, risiko jatuh di bawah US$100.000 relatif kecil, sebaliknya peluang rebound justru semakin terbuka. Ia menyebut ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed dengan probabilitas 87% berdasarkan CME FedWatch bisa menjadi katalis utama. Kebijakan moneter yang lebih longgar biasanya melemahkan dolar AS, membuka arus likuiditas global, dan mendorong minat pada aset berisiko termasuk kripto.
Fyqieh menambahkan, level psikologis US$100.000 memang menjadi area yang dikhawatirkan banyak pelaku pasar, namun faktor momentum makro dan semakin besarnya arus dana institusional melalui ETF Bitcoin spot bisa memperkuat narasi bullish. Target harga US$115.000 hingga US$120.000 di akhir September menurutnya tetap realistis, terutama bila didukung oleh keputusan The Fed dan tren penguatan emas yang baru saja menembus rekor tertinggi sepanjang masa.
Optimisme juga diperkuat dengan meningkatnya minat investor institusional terhadap ETF Bitcoin spot, yang semakin aktif diperdagangkan. Hal ini menegaskan bahwa Bitcoin tidak lagi hanya dipandang sebagai aset spekulatif, tetapi juga sebagai instrumen lindung nilai makro di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Meski pasar saat ini bergerak hati-hati dengan sentimen musiman yang masih membayangi, prospek jangka pendek Bitcoin pada September 2025 diperkirakan tidak sepenuhnya bearish. Justru ada peluang besar untuk mematahkan kutukan “Red September” untuk tahun ketiga berturut-turut, sekaligus memperkuat status Bitcoin sebagai aset digital utama dunia.