Ciri-Ciri Brain Rot yang Mulai Mengintai Gen Z dan Cara Menyadarinya
Di era di mana semua ada dalam genggaman dan perhatian bergeser dalam hitungan detik, Gen Z dihadapkan pada musuh baru yang tenang tapi merusak: brain rot.

Di balik layar smartphone yang menyala hampir 24 jam, generasi Z kini menghadapi ancaman diam-diam yang mulai merayap ke dalam kebiasaan dan fungsi berpikir: brain rot. Istilah ini merujuk pada kemunduran kognitif akibat konsumsi konten instan yang berlebihan—terutama dari media sosial.
Istilah brain rot kerap viral di TikTok dan X, namun fenomenanya tidak sekadar tren. Dalam laporan terbaru yang diterbitkan oleh International Journal of Mental Health and Addiction, para peneliti menyimpulkan bahwa paparan konten yang dangkal dan terus-menerus dapat mengganggu daya serap otak terhadap informasi, menurunkan fokus, serta memperlemah kemampuan berpikir strategis.
Di lapangan, efeknya mulai tampak. Banyak Gen Z melaporkan sulit berkonsentrasi saat belajar, cepat bosan saat membaca artikel panjang, atau merasa kelelahan mental tanpa sebab yang jelas meski hanya sekadar “scrolling” berjam-jam. Ini adalah alarm awal yang sering tidak disadari.
Menurut Hardika Dwi Hermawan, Dosen Pendidikan Teknik Informatika di Universitas Muhammadiyah Surakarta, brain rot di kalangan muda terjadi karena otak terlalu sering menerima stimulasi cepat namun tidak berarti. Ia menjelaskan bahwa konten seperti video berdurasi pendek memang mampu memicu dopamin, tetapi tidak membangun koneksi berpikir yang mendalam.
“Yang hilang bukan hanya konsentrasi, tapi kemampuan menganalisis. Kita terbiasa dengan konten satu menit, dan itu mengubah cara berpikir kita secara fundamental,” ujar Hardika. Ia menambahkan bahwa dalam jangka panjang, brain rot bisa menurunkan produktivitas dan bahkan memengaruhi kesehatan mental.
Sejalan dengan itu, seorang peneliti kognitif dari Oxford, Dr. Susan Greenfield, menjelaskan bahwa terlalu banyak konsumsi konten pasif membuat otak bekerja dengan mode bertahan, bukan belajar. Otak jadi malas berpikir karena dibanjiri informasi cepat yang tidak membutuhkan proses.
Gejala brain rot tidak selalu drastis, tapi hadir dalam bentuk-bentuk kecil yang mengganggu. Misalnya, merasa kesulitan menyelesaikan tugas sederhana, sering lupa hal baru, atau merasa cemas dan tidak puas setelah berlama-lama di media sosial. Beberapa Gen Z mengaku lebih mudah kehilangan motivasi, bahkan terhadap hal yang biasanya mereka sukai.
Meski demikian, kondisi ini bisa dicegah dan diatasi. Kesadaran menjadi langkah pertama. Banyak ahli kini menyarankan agar generasi muda mulai menetapkan waktu tanpa layar dalam rutinitas harian mereka, memilih konten yang memberi nilai tambah, dan lebih banyak terlibat dalam aktivitas yang merangsang otak seperti membaca buku, berdiskusi langsung, atau bermain musik.
Brain rot bukanlah akhir dari kejernihan berpikir, tapi pengingat bahwa otak, seperti tubuh, butuh istirahat, nutrisi, dan latihan. Dalam dunia digital yang tak pernah tidur, menjaga kewarasan berpikir justru menjadi bentuk revolusi yang paling mendesak bagi generasi ini.