Dari Yunani hingga Indonesia, Dunia Hadapi Ancaman Kebakaran Hutan yang Meningkat
Kebakaran hutan besar melanda Yunani, Los Angeles, dan kembali mengancam Indonesia saat musim kemarau tiba.

Kebakaran hutan kembali melanda sejumlah negara dengan skala yang mengkhawatirkan. Dari lereng-lereng kering di Yunani, kawasan perbukitan di Los Angeles, hingga lahan gambut Indonesia yang setiap tahun terbakar, dunia seolah tak bisa lepas dari ancaman asap dan bara.
Musim panas yang ekstrem tahun ini membawa bencana kebakaran hutan di berbagai penjuru dunia. Di Yunani, api menjalar cepat ke wilayah Attica dan Pulau Rhodes sejak pertengahan Juni 2025. Pemerintah Yunani mencatat lebih dari 20.000 hektar hutan terbakar, menyebabkan evakuasi massal ribuan warga dan wisatawan.
Beberapa pekan sebelumnya, wilayah perbukitan di Los Angeles juga diselimuti asap pekat. Kebakaran besar di sekitar Angeles National Forest membakar lebih dari 10.000 hektar lahan dan menutup jalan antarnegara bagian.
Fenomena ini bukan hal baru bagi Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa hampir setiap tahun, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) membakar wilayah Sumatra, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi. Sepanjang semester pertama 2025, telah terjadi 716 kejadian karhutla di berbagai daerah, dengan luas lahan terbakar mencapai lebih dari 27.000 hektar.
Menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, kebakaran di Indonesia umumnya terjadi karena kombinasi musim kemarau panjang, praktik pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lemahnya pengawasan di tingkat daerah.
“Kebakaran hutan bukan hanya disebabkan oleh alam. Sebagian besar adalah ulah manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaian,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Juli 2025.
Mengapa Api Sulit Dipadamkan?
Kebakaran hutan menjadi tantangan karena faktor topografi, cuaca ekstrem, dan keterbatasan sumber daya. Di Yunani dan California, angin kencang mempercepat penyebaran api dan menyulitkan pemadaman dari udara. Di Indonesia, karhutla di lahan gambut menjadi sangat sulit ditangani karena api merambat di bawah permukaan tanah dan terus menyala meski hujan turun.
Menurut Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Perlindungan Hutan IPB yang juga sering menjadi saksi ahli dalam kasus pembakaran hutan, upaya pemadaman akan selalu kalah cepat dibandingkan penyebaran api jika tidak ada pencegahan sejak awal.
“Pemadaman itu reaktif. Yang paling efektif adalah mencegah titik api muncul. Pencegahan harus berbasis patroli, deteksi dini, dan edukasi masyarakat,” katanya Mei lalu.
Pencegahan: Belajar dari Negara Lain
Negara-negara seperti Australia dan Kanada menerapkan pendekatan prediktif, memantau vegetasi dan suhu lewat satelit, dan menutup area rawan sebelum kebakaran meluas. Di Indonesia, beberapa inisiatif serupa telah dimulai.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2023 mengembangkan sistem peringatan dini berbasis satelit LAPAN dan aplikasi SiPongi. Namun, menurut data dari WALHI, efektivitas sistem ini belum merata karena tidak semua daerah memiliki kapasitas untuk menindaklanjuti laporan dengan cepat.
“Pencegahan karhutla butuh koordinasi lintas sektor. Tidak bisa hanya mengandalkan satu institusi,” kata Edy Sutrisno, Deputi WALHI Nasional Bidang Kehutanan.
Pakar iklim dan lingkungan dari Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, menegaskan bahwa perubahan iklim memperparah potensi kebakaran.
“Suhu permukaan yang naik satu derajat saja bisa memperbesar kemungkinan hutan terbakar 10–20%. Maka kebijakan antisipatif mutlak dibutuhkan, bukan hanya reaktif saat api sudah membesar,” jelasnya kepada The Conversation Indonesia.
Bagi masyarakat umum, larangan membakar sampah, membuat sekat bakar di sekitar permukiman, dan melapor lebih awal saat tercium asap adalah langkah-langkah kecil yang krusial.