Ekonomi Indonesia 2025: Kelas Menengah Terjepit, Konsumsi Turun, Warga Sulit Dapat Kerja
Bank Indonesia mengungkap bahwa kelas menengah mengalami penurunan konsumsi drastis di kuartal III-2025 karena ekspektasi melemah dan lapangan kerja yang semakin sulit dijangkau.
Bank Indonesia (BI) memperingatkan adanya sinyal bahaya dari kelompok kelas menengah yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Pola konsumsi rumah tangga kelas menengah tercatat melemah tajam pada kuartal III-2025, sebuah gejala yang patut diwaspadai karena daya beli mereka selama ini menjadi motor penting pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut Gubernur BI, Perry Warjiyo, dua faktor utama yang ikut meredam daya beli tersebut adalah ekspektasi konsumen yang menurun dan peluang kerja yang semakin terbatas. âKelas menengah adalah segmen penting bagi perekonomian kita, tetapi saat ini mereka menghadapi tekanan serius. Penurunan konsumsi tercermin dari survei konsumen dan survei ketenagakerjaan yang menunjukkan kondisi lapangan kerja makin menantang,â ungkap Perry dalam konferensi pers, Rabu (17/9).
Ekspektasi konsumen menurun karena kekhawatiran terhadap inflasi, biaya hidup yang kian tinggi, hingga ketidakpastian ekonomi global. Kenaikan harga pangan, energi, dan kebutuhan rumah tangga membuat masyarakat menahan belanja, bahkan untuk barang-barang non-esensial. Di sisi lain, banyak rumah tangga kelas menengah harus menunda investasi konsumtif seperti pembelian kendaraan, rumah, hingga gaya hidup, karena fokus menjaga tabungan.
Data BI juga menunjukkan adanya penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada level kelas menengah bawah, yang biasanya menjadi penentu tren konsumsi nasional. Lesunya konsumsi ini diperparah oleh kondisi ketenagakerjaan. Banyak perusahaan yang masih menahan perekrutan karyawan baru, sementara lapangan kerja formal justru menyempit. Akibatnya, banyak pencari kerja harus beralih ke sektor informal atau pekerjaan serabutan yang tidak memberikan kepastian penghasilan.
âIni menjadi tantangan serius. Jika kelas menengah saja mulai mengurangi belanja, dampaknya bisa berantai ke berbagai sektor usaha, terutama ritel, kuliner, transportasi, dan jasa. Padahal sektor-sektor tersebut adalah penyerap tenaga kerja terbesar,â kata Perry.
BI menekankan pentingnya langkah cepat pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat. Percepatan realisasi program prioritas, termasuk proyek infrastruktur, bantuan sosial tepat sasaran, hingga pengembangan kawasan ekonomi, dianggap sebagai strategi kunci agar roda konsumsi tidak berhenti. Selain itu, penciptaan lapangan kerja formal perlu dipacu agar masyarakat punya keyakinan untuk membelanjakan pendapatannya.
Meski begitu, BI tetap optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi pada semester II-2025 bisa sedikit membaik, didorong oleh belanja pemerintah dan ekspor. Produk pertanian, pertambangan, dan manufaktur masih diharapkan menjadi penopang utama. Namun, risiko global seperti gejolak harga energi, perlambatan ekonomi Tiongkok, hingga fluktuasi nilai tukar tetap harus diwaspadai.
Ekonom menilai, gejala melemahnya konsumsi kelas menengah adalah alarm yang tidak boleh diabaikan. Kelas menengah yang terjepit bisa menjadi sinyal bahwa ketimpangan sosial makin melebar. Jika daya beli mereka tidak segera dipulihkan, maka target pertumbuhan ekonomi nasional berisiko meleset.





