Fenomena “Marriage Is Scary”, Membuat Angka Pernikahan di Indonesia Terus Turun
Fenomena “Marriage Is Scary” yang marak di kalangan generasi muda mulai terbukti nyata di Indonesia, dengan penurunan angka pernikahan sejak 2019 dan meningkatnya kasus perceraian dalam beberapa tahun terakhir.
ementerian Agama (Kemenag) mencatat tren yang cukup mengkhawatirkan dalam data pernikahan di Indonesia. Jika pada tahun 2019 tercatat lebih dari 2.033.000 pasangan menikah, angka tersebut terus menurun hingga hanya sekitar 1.478.000 di tahun 2024. Penurunan lebih dari setengah juta pernikahan dalam lima tahun terakhir ini menandakan adanya pergeseran besar dalam cara generasi muda memandang institusi pernikahan.
Fenomena ini kerap dikaitkan dengan istilah “Marriage Is Scary” atau pernikahan yang dianggap menakutkan. Generasi muda, terutama Gen Z dan milenial, semakin berhati-hati mengambil keputusan menikah. Alasannya beragam, mulai dari ketidakpastian ekonomi, harga rumah yang terus melambung, biaya pendidikan anak yang mahal, hingga pengaruh media sosial yang kerap memperlihatkan sisi gelap kehidupan rumah tangga.
Selain pernikahan yang menurun, perceraian juga menunjukkan tren fluktuatif namun tetap tinggi. Menurut data Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, pada tahun 2020 angka perceraian sempat menurun drastis menjadi 291.667 kasus karena terbatasnya layanan publik saat pandemi COVID-19. Namun tren itu tidak bertahan lama. Di tahun 2024, jumlah perceraian melonjak lagi hingga lebih dari 446.000 kasus, menjadikan perceraian sebagai fenomena sosial yang makin serius di tengah masyarakat.
Psikolog Universitas Diponegoro, Amalia Rahmandani, menilai bahwa rasa takut menikah di kalangan generasi muda bukanlah sekadar tren sesaat, melainkan refleksi dari kondisi sosial-ekonomi yang berat. “Banyak pasangan muda merasa tidak cukup siap secara finansial maupun emosional untuk berkomitmen jangka panjang. Akhirnya mereka menunda pernikahan atau bahkan memilih untuk tidak menikah sama sekali,” ujarnya.
Fenomena ini juga dikhawatirkan berdampak pada demografi Indonesia. Penurunan angka pernikahan berpotensi menekan angka kelahiran dalam jangka panjang, yang bisa mempercepat penuaan populasi. Padahal, Indonesia tengah memanfaatkan bonus demografi dengan dominasi penduduk usia produktif hingga 2035. Jika tren ini tidak diantisipasi, Indonesia bisa menghadapi masalah regenerasi tenaga kerja dan beban sosial yang lebih besar di masa depan.
Kementerian Agama sendiri telah berupaya memperkuat layanan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) untuk calon pengantin agar pasangan yang hendak menikah lebih siap secara mental, emosional, dan spiritual. Selain itu, literasi finansial juga dinilai penting untuk membantu pasangan muda mengelola keuangan rumah tangga, sehingga mereka tidak mudah goyah ketika menghadapi tekanan ekonomi.
Para sosiolog menekankan bahwa tren “Marriage Is Scary” seharusnya dijadikan alarm bagi pemerintah, komunitas, hingga keluarga. Pernikahan bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga berkaitan dengan pembangunan bangsa. Dukungan dalam bentuk kebijakan perumahan terjangkau, jaminan pekerjaan, hingga layanan kesehatan reproduksi yang memadai bisa membantu mengembalikan keyakinan generasi muda bahwa pernikahan adalah pilihan yang layak diperjuangkan.
Fenomena penurunan pernikahan dan tingginya perceraian ini menunjukkan bahwa generasi muda membutuhkan ruang untuk berdiskusi tentang realitas rumah tangga secara jujur dan transparan. Di era digital, keterbukaan informasi tentang hubungan justru menjadi pisau bermata dua: di satu sisi memberi pengetahuan, di sisi lain memunculkan rasa takut. Ke depan, Indonesia perlu merumuskan strategi yang lebih adaptif agar pernikahan kembali dilihat sebagai fondasi keluarga dan masyarakat, bukan sekadar beban yang menakutkan





