Harga Bitcoin Naik Lagi ke Atas US$108.000, Pasar Waspadai Rilis Data Inflasi AS
etelah sempat anjlok ke kisaran US$106.000, harga Bitcoin (BTC) kembali menguat di atas US$108.000 seiring meredanya aksi jual investor dan meningkatnya arus masuk ETF spot.
Harga Bitcoin (BTC) sempat turun tajam ke level US$106.000 atau sekitar Rp1,76 miliar (kurs Rp16.634) pada Kamis (23/10), sebelum kembali bangkit ke atas US$108.000 (Rp1,79 miliar). Penguatan ini terjadi setelah tekanan jual investor mulai mereda dan aliran dana ke ETF spot kripto kembali meningkat.
Meski begitu, volatilitas pasar masih tinggi. Para pelaku pasar kini cenderung berhati-hati menjelang rilis data inflasi Amerika Serikat (CPI) pada Jumat (24/10) ini, yang diprediksi menjadi penentu arah suku bunga The Fed.
Data internal Tokocrypto menunjukkan Bitcoin sempat menguji area support di US$106.100 setelah gagal menembus level resistance atas. Kondisi ini muncul di tengah penguatan dolar AS (DXY) dan pelemahan harga emas yang nyaris kehilangan level psikologis US$4.000 per ons.
âPergerakan harga Bitcoin kali ini masih sangat dipengaruhi oleh dinamika likuiditas jangka pendek dan ekspektasi pasar terhadap kebijakan moneter AS,â ujar Fyqieh Fachrur, Analis Tokocrypto. âArus masuk ETF memang memicu rebound teknikal, namun tekanan makroekonomi masih membatasi potensi kenaikan yang lebih agresif.â
Likuiditas Ketat dan Ekspektasi Fed
Minggu ini menjadi periode penting bagi aset berisiko, termasuk kripto. Data inflasi (CPI) September akan menjadi acuan utama bagi The Fed dalam menentukan langkah suku bunga.
Menurut Fyqieh, âJika CPI melemah mendekati 0,2%, peluang penurunan suku bunga akan semakin kuat dan bisa memperbaiki sentimen terhadap Bitcoin.â Saat ini, pasar memperkirakan peluang 98,9% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan 29 Oktober mendatang.
Namun, sejumlah analis mengingatkan potensi âsell the newsâ bisa terjadi, seperti saat pemotongan suku bunga pertama pada September lalu, di mana kapitalisasi pasar kripto sempat turun hingga US$60 miliar sesaat setelah pengumuman.
Ketegangan Dagang ASâChina dan Arah Selanjutnya
Selain faktor moneter, ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China turut menambah ketidakpastian pasar. Presiden AS Donald Trump dijadwalkan bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di KTT APEC pada 31 Oktober untuk membahas kemungkinan kesepakatan perdagangan sebelum tarif baru 100% diberlakukan pada 1 November.
Analis Standard Chartered, Geoff Kendrick, memprediksi harga Bitcoin bisa kembali turun di bawah US$100.000 dalam jangka pendek akibat ketegangan ini. Meski begitu, ia tetap optimistis Bitcoin dapat menembus US$200.000 pada akhir tahun seiring meningkatnya likuiditas global dan arus masuk ke ETF kripto.
Fyqieh menilai, kombinasi antara faktor geopolitik dan ekspektasi penurunan suku bunga menciptakan fase âketidakpastian terkendaliâ bagi Bitcoin. âPasar saat ini menimbang dua hal berlawanan: tekanan makro seperti perang dagang dan inflasi, serta harapan pemangkasan suku bunga yang bisa mendongkrak likuiditas. Dalam situasi seperti ini, investor ritel sebaiknya menunggu konfirmasi tren baru setelah rilis CPI,â jelasnya.
Ia menambahkan, jika inflasi AS melambat dan DXY melemah, Bitcoin berpeluang menguji area US$115.000âUS$120.000. Namun, jika data CPI justru di atas ekspektasi, BTC berisiko kembali ke area support kuat di kisaran US$100.000.
âInvestor perlu memperhatikan bukan hanya angka CPI, tapi juga bagaimana pasar obligasi dan dolar meresponsnya. Keduanya akan menjadi indikator arah selanjutnya bagi Bitcoin dan aset kripto lainnya,â tutup Fyqieh.
Menjelang akhir Oktober, pasar kripto menghadapi kombinasi faktor penting: penutupan CME gap, rilis CPI AS, keputusan suku bunga The Fed, dan pertemuan ASâChina. Semua ini akan menentukan apakah Bitcoin mampu melanjutkan tren bullish menuju US$200.000 atau justru terkoreksi di bawah US$100.000 dalam jangka pendek.



