Safe and SecureUpdate News

Indonesia Peringkat Lima dalam Daftar Destinasi Ramah Muslim Dunia

Posisi Indonesia dalam destinasi wisata ramah Muslim dunia turun ke peringkat kelima versi GMTI 2025.

Posisi Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata ramah Muslim dunia kini tidak lagi di puncak. Setelah dua tahun berbagi posisi pertama bersama Malaysia, Indonesia harus puas berada di peringkat kelima dalam laporan Mastercard-CrescentRating GMTI 2025. Malaysia mempertahankan posisi teratas dengan skor 79, diikuti oleh Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab. Sementara itu, Indonesia mencatatkan skor 76, turun tiga poin dari posisi sebelumnya.

Penurunan ini tidak hanya mencerminkan persaingan global yang semakin ketat, tetapi juga menjadi cerminan bahwa ekspektasi wisatawan Muslim global telah berubah. Negara-negara lain telah meningkatkan kualitas layanan, memperkuat aspek digitalisasi, dan menyusun strategi pemasaran yang lebih personal dan tersegmentasi untuk menjaring wisatawan dari berbagai latar belakang demografis. Arab Saudi, misalnya, memperluas konsep wisata spiritual dengan pendekatan lifestyle halal, sementara Turki dan UEA menggabungkan destinasi warisan budaya Islam dengan teknologi berbasis aplikasi dan integrasi seamless experience.

Menurut pakar pariwisata halal dan advisor Halal Tourism Indonesia, Taufan Rahmadi, tren ini seharusnya mendorong Indonesia untuk mengevaluasi ulang pendekatannya terhadap wisatawan Muslim modern. Ia menegaskan bahwa kekayaan budaya dan sejarah Islam yang dimiliki Indonesia perlu dibarengi dengan inovasi pelayanan dan pengalaman wisata yang relevan bagi generasi Muslim muda. Ia menambahkan bahwa wisatawan Muslim masa kini tidak hanya mencari tempat salat dan makanan halal, tetapi juga kemudahan transaksi digital, fleksibilitas perjalanan, dan pengalaman yang autentik namun nyaman.

Read More  Waspada! Masyarakat Indonesia Rugi Rp 3,2 Triliun Akibat Penipuan Jasa Keuangan

GMTI 2025 menilai kesiapan destinasi berdasarkan empat pilar utama, yaitu aksesibilitas, komunikasi, lingkungan, dan layanan. Penilaian ini didukung oleh data dari lembaga-lembaga seperti World Bank, UNWTO, dan UNESCO. Tak hanya itu, indeks ini juga mengukur kesiapan digital, pengelolaan keberlanjutan, serta adopsi teknologi ramah Muslim dalam memperkaya pengalaman wisata. Dalam konteks ini, negara-negara pesaing Indonesia terlihat lebih sigap dalam menerjemahkan data dan kebutuhan pasar menjadi kebijakan dan inovasi konkret.

Agar Indonesia dapat kembali bersaing di peringkat atas GMTI, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan lintas sektor. Hal pertama yang harus diperkuat adalah digitalisasi layanan wisata halal. Hal ini mencakup penyediaan aplikasi terpadu yang mengintegrasikan informasi masjid, restoran bersertifikasi halal, layanan transportasi, hingga pemandu wisata yang memahami kebutuhan spiritual pengunjung. Selain itu, pelaku usaha wisata perlu meningkatkan pemahaman tentang tren Muslim lifestyle, termasuk pentingnya pengalaman yang bersih, aman, dan berorientasi keluarga.

Dukungan pemerintah juga sangat krusial, mulai dari insentif untuk usaha kuliner dan akomodasi halal, pelatihan SDM yang inklusif secara budaya dan agama, hingga kampanye promosi internasional yang lebih terarah. Pemanfaatan konten digital yang otentik seperti ulasan traveler Muslim global, video perjalanan inspiratif, dan kolaborasi dengan halal influencer juga berperan besar dalam membangun citra destinasi di pasar internasional.

Indonesia memiliki semua modal dasar untuk kembali ke puncak, mulai dari kekayaan nilai-nilai Islam, keberagaman budaya lokal, hingga jaringan komunitas Muslim yang kuat. Tantangannya kini adalah bagaimana menyusun strategi jangka panjang yang tidak hanya menargetkan peringkat indeks, tetapi juga menciptakan ekosistem wisata halal yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh terhadap perubahan zaman.

Posisi Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata ramah Muslim dunia kini tidak lagi di puncak. Setelah dua tahun berbagi posisi pertama bersama Malaysia, Indonesia harus puas berada di peringkat kelima dalam laporan Mastercard-CrescentRating GMTI 2025. Malaysia mempertahankan posisi teratas dengan skor 79, diikuti oleh Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab. Sementara itu, Indonesia mencatatkan skor 76, turun tiga poin dari posisi sebelumnya.

Read More  Implementasi Wajib Asuransi Kendaraan Bermotor Hadapi Tantangan Besar

Penurunan ini tidak hanya mencerminkan persaingan global yang semakin ketat, tetapi juga menjadi cerminan bahwa ekspektasi wisatawan Muslim global telah berubah. Negara-negara lain telah meningkatkan kualitas layanan, memperkuat aspek digitalisasi, dan menyusun strategi pemasaran yang lebih personal dan tersegmentasi untuk menjaring wisatawan dari berbagai latar belakang demografis. Arab Saudi, misalnya, memperluas konsep wisata spiritual dengan pendekatan lifestyle halal, sementara Turki dan UEA menggabungkan destinasi warisan budaya Islam dengan teknologi berbasis aplikasi dan integrasi seamless experience.

Menurut pakar pariwisata halal dan advisor Halal Tourism Indonesia, Taufan Rahmadi, tren ini seharusnya mendorong Indonesia untuk mengevaluasi ulang pendekatannya terhadap wisatawan Muslim modern. Ia menegaskan bahwa kekayaan budaya dan sejarah Islam yang dimiliki Indonesia perlu dibarengi dengan inovasi pelayanan dan pengalaman wisata yang relevan bagi generasi Muslim muda. Ia menambahkan bahwa wisatawan Muslim masa kini tidak hanya mencari tempat salat dan makanan halal, tetapi juga kemudahan transaksi digital, fleksibilitas perjalanan, dan pengalaman yang autentik namun nyaman.

GMTI 2025 menilai kesiapan destinasi berdasarkan empat pilar utama, yaitu aksesibilitas, komunikasi, lingkungan, dan layanan. Penilaian ini didukung oleh data dari lembaga-lembaga seperti World Bank, UNWTO, dan UNESCO. Tak hanya itu, indeks ini juga mengukur kesiapan digital, pengelolaan keberlanjutan, serta adopsi teknologi ramah Muslim dalam memperkaya pengalaman wisata. Dalam konteks ini, negara-negara pesaing Indonesia terlihat lebih sigap dalam menerjemahkan data dan kebutuhan pasar menjadi kebijakan dan inovasi konkret.

Agar Indonesia dapat kembali bersaing di peringkat atas GMTI, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan lintas sektor. Hal pertama yang harus diperkuat adalah digitalisasi layanan wisata halal. Hal ini mencakup penyediaan aplikasi terpadu yang mengintegrasikan informasi masjid, restoran bersertifikasi halal, layanan transportasi, hingga pemandu wisata yang memahami kebutuhan spiritual pengunjung. Selain itu, pelaku usaha wisata perlu meningkatkan pemahaman tentang tren Muslim lifestyle, termasuk pentingnya pengalaman yang bersih, aman, dan berorientasi keluarga.

Read More  Subsidi Motor Listrik Lanjut, Dorong Transisi Energi Bersih di Indonesia

Dukungan pemerintah juga sangat krusial, mulai dari insentif untuk usaha kuliner dan akomodasi halal, pelatihan SDM yang inklusif secara budaya dan agama, hingga kampanye promosi internasional yang lebih terarah. Pemanfaatan konten digital yang otentik seperti ulasan traveler Muslim global, video perjalanan inspiratif, dan kolaborasi dengan halal influencer juga berperan besar dalam membangun citra destinasi di pasar internasional.

Indonesia memiliki semua modal dasar untuk kembali ke puncak, mulai dari kekayaan nilai-nilai Islam, keberagaman budaya lokal, hingga jaringan komunitas Muslim yang kuat. Tantangannya kini adalah bagaimana menyusun strategi jangka panjang yang tidak hanya menargetkan peringkat indeks, tetapi juga menciptakan ekosistem wisata halal yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh terhadap perubahan zaman.

Back to top button