Ini Bahaya Nyata Suara Ekstrem bagi Kesehatan
Meninggalnya seorang ibu di tengah parade sound horeg di Lumajang menjadi pengingat bahwa suara bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga soal hidup dan mati.
Suasana semarak pawai desa di Pasirian berubah menjadi kepanikan saat seorang ibu muda, Anik Mutmainah (38), tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri usai menonton pertunjukan sound horeg. Ia sempat dilarikan ke RSUD Pasirian, namun nyawanya tak tertolong. Warga dan keluarga menduga suara bass ekstrem dari sound system raksasa menjadi pemicunya.
Peristiwa ini menambah daftar panjang kejadian serupa di Jawa Timur yang melibatkan sound horeg, hiburan berbasis audio super keras yang kini semakin sering hadir dalam acara karnaval desa. Di balik dentuman bass dan gemuruh speaker, tersembunyi risiko kesehatan serius yang belum banyak disadari masyarakat.
Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah sekaligus pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Iqbal Mochtar, menegaskan bahwa paparan suara keras ekstrem dapat memicu respons biologis yang berbahaya. Menurutnya, suara di atas 120 desibel bisa menyebabkan kerusakan telinga dalam, peningkatan tekanan darah, bahkan memicu aritmia atau henti jantung pada orang dengan kondisi jantung tertentu. Efek getaran intens juga bisa memengaruhi saraf pusat dan menimbulkan syok pada tubuh, apalagi jika paparan terjadi dalam jarak dekat dan waktu lama.
Penjelasan medis ini sejalan dengan data dari World Health Organization (WHO), yang menyebut bahwa ambang batas aman kebisingan lingkungan berada di bawah 85 desibel. Di atas ambang tersebut, risiko kesehatan meningkat drastis. Sayangnya, sound horeg bisa menghasilkan suara hingga 130â140 desibelâsetara suara mesin jet atau letusan senjata api.
Kementerian Kesehatan RI dalam beberapa waktu terakhir juga mulai menyuarakan perlunya regulasi terkait kebisingan publik. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur sejak 2023 telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa praktik sound horeg yang menyebabkan gangguan atau membahayakan masyarakat hukumnya haram. Sekretaris MUI Jatim, Hasan Ubaidillah, menyampaikan bahwa fatwa ini dikeluarkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual untuk mencegah mudarat yang nyata dari kebisingan berlebihan.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, drg. Nanik Sukristina, juga pernah menyebut bahwa paparan suara ekstrem bisa menimbulkan gangguan psikologis, seperti kecemasan, stres, bahkan trauma, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Ia menegaskan bahwa kebisingan lingkungan sudah seharusnya dikendalikan demi menjaga ketenangan dan kesehatan warga.
Di berbagai negara, aturan soal kebisingan publik sangat ketat. Di Jepang, batas kebisingan pada area permukiman dibatasi hanya 55 desibel di malam hari. Di Eropa, zona-zona festival dan konser pun harus mematuhi standar suara maksimal, dan pelanggaran bisa dikenai sanksi hukum.
Namun di Indonesia, fenomena sound horeg masih kerap dibiarkan, bahkan dianggap bagian dari âbudaya lokalâ. Padahal, ketika suara yang semula menjadi hiburan mulai memakan korban jiwa, sudah waktunya masyarakat dan pemerintah duduk bersama untuk mencari jalan keluar.
Kasus meninggalnya Anik Mutmainah bukan hanya tragedi personal, tapi sinyal keras bahwa standar keselamatan publik harus ditegakkan. Kebisingan bukan sekadar gangguan. Ia bisa menjadi ancaman laten yang mematikanâsunyi yang datang dari suara.





