HealthcareUpdate News

Jakarta Darurat Sampah: 8.000 Ton Tiap Hari Cemari Lingkungan, Ancam Kesehatan Warga

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyebut Jakarta dalam kondisi darurat sampah, dengan produksi mencapai 8.000 ton per hari yang menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Krisis sampah kembali menghantui ibu kota. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Jakarta menghasilkan sekitar 8.000 ton sampah setiap hari, atau setara dengan berat 530 unit bus Transjakarta. Dari jumlah itu, hanya sekitar 60 persen yang berhasil diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, sementara sisanya kerap menumpuk di TPS, sungai, atau dibakar secara ilegal.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa kondisi ini sudah tergolong darurat. “Volume sampah terus meningkat, sementara daya tampung dan sistem pengelolaannya belum beradaptasi dengan cepat. Jakarta perlu transformasi besar dalam cara mengelola dan mengurangi sampah,” ujarnya di Jakarta, Rabu (15/10).

Menurut Hanif, sebagian besar sampah Jakarta berasal dari rumah tangga (48%), pasar tradisional (20%), dan kawasan komersial (15%). Sisanya berasal dari industri kecil dan konstruksi. Ia menekankan pentingnya pendekatan ekonomi sirkular dengan prinsip reduce, reuse, recycle (3R), serta penerapan kebijakan “produksi dan konsumsi berkelanjutan” di level rumah tangga dan bisnis.

Dampak dari sampah yang tidak tertangani kini mulai terasa nyata. Peneliti lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Yuyun Ismawati, menyebutkan bahwa tumpukan sampah organik yang membusuk di TPA menghasilkan gas metana (CH₄) yang memiliki potensi pemanasan global 25 kali lebih kuat dari karbon dioksida (CO₂). Sementara sampah plastik yang hanyut ke laut berkontribusi pada pencemaran mikroplastik yang kini telah ditemukan di air tanah, ikan, hingga udara Jakarta.

Read More  Operator Crane Tewas Tersengat Listrik di Medan, Sorotan Tajam pada Keselamatan Kerja Proyek

“Kalau sampah plastik terus dibuang tanpa daur ulang, maka dalam beberapa tahun, berat plastik di laut bisa melebihi berat ikan,” ujarnya memperingatkan.

Dari sisi kesehatan, warga yang tinggal di sekitar TPA Bantargebang mulai merasakan dampaknya. Siti Rohayah (42), warga RT 04/09 Ciketing Udik, Bekasi, mengaku keluarganya kerap mengalami gangguan pernapasan. “Kalau malam bau sampahnya menyengat banget, anak-anak sering batuk. Kadang debu dan asap pembakaran juga masuk ke rumah,” katanya.

Kondisi serupa juga dialami warga di bantaran Sungai Ciliwung dan Pesanggrahan. Tumpukan sampah plastik yang terbawa arus menyebabkan air sungai meluap saat hujan deras, memperparah risiko banjir dan mencemari air tanah.

KLHK bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kini tengah mempercepat pembangunan fasilitas pengolahan sampah antara (ITF) dan penerapan teknologi RDF (Refuse Derived Fuel) untuk mengubah sebagian sampah menjadi energi alternatif. Namun, Menteri Hanif menegaskan bahwa upaya ini tidak akan berhasil tanpa partisipasi aktif masyarakat.

“Teknologi hanyalah alat bantu. Kunci utama ada di perubahan perilaku — bagaimana masyarakat mau memilah sampah sejak dari rumah,” ujarnya.

Data KLHK juga menunjukkan, dari seluruh volume sampah nasional yang mencapai 68 juta ton per tahun, hanya sekitar 10–12 persen yang berhasil didaur ulang. Sisanya berakhir di TPA atau lingkungan terbuka. Karena itu, pemerintah menargetkan pengurangan sampah hingga 30 persen dan penanganan 70 persen pada tahun 2029 melalui kolaborasi lintas sektor.

Masalah sampah kini bukan hanya urusan estetika kota, melainkan krisis lingkungan yang dapat mengancam kualitas hidup warga. Tanpa perubahan kebijakan dan perilaku kolektif, Jakarta bisa tenggelam bukan hanya karena air — tapi juga karena tumpukan sampah yang terus menggunung.

Back to top button