Karhutla Kembali Mengancam, Ganggu Kesehatan, Kerugian Ekonomi Ditaksir Triliunan
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali melanda berbagai wilayah di Indonesia, memicu kabut asap yang mengganggu kesehatan dan menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit.

Indonesia kembali dihadapkan pada ancaman serius kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hingga pertengahan Juli 2025, lebih dari 140 titik api terdeteksi di berbagai wilayah, terutama di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi Selatan. Data terbaru menunjukkan bahwa Riau menjadi episentrum karhutla dengan intensitas paling tinggi. Daerah Rokan Hilir dan Rokan Hulu mengalami kebakaran lahan yang cukup masif, membakar setidaknya 46 hektare. Akibatnya, kabut asap mulai menyelimuti sebagian wilayah Sumatra, bahkan sebagian asap dilaporkan sudah mencapai Malaysia.
Situasi ini memicu kekhawatiran serius di kalangan masyarakat dan pemerintah. Kabut asap yang menyelimuti wilayah terdampak menurunkan kualitas udara secara drastis. Data dari BMKG menunjukkan bahwa indeks kualitas udara di sejumlah daerah telah masuk kategori tidak sehat. Masyarakat mulai mengalami gangguan pernapasan, ISPA, hingga iritasi mata dan tenggorokan. Di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan, rumah sakit dan klinik melaporkan lonjakan pasien dengan keluhan sesak napas dan batuk. Pemerintah daerah pun menghimbau warga untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan dan menggunakan masker saat beraktivitas di area terbuka.
Dampak karhutla tak hanya berhenti pada masalah kesehatan. Dari sisi ekonomi, kebakaran hutan dan lahan selalu meninggalkan kerugian besar. Berdasarkan laporan yang dirilis berbagai lembaga, total kerugian akibat karhutla di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya mencapai angka di atas Rp70 triliun per tahun. Tahun ini, meskipun jumlah titik api cenderung menurun dibanding 2024, potensi kerugian tetap besar karena dampak terhadap pertanian, perkebunan, hingga transportasi udara. Banyak penerbangan di wilayah Sumatra dan Kalimantan mengalami penundaan akibat rendahnya jarak pandang. Sektor pariwisata juga tertekan, terutama di daerah yang mengandalkan wisata alam. Di sisi lain, para petani dan pekebun yang lahannya terbakar harus menghadapi kerugian langsung akibat gagal panen.
Pakar lingkungan dan ekonom memperkirakan kerugian ekonomi akibat karhutla tahun ini bisa mencapai sedikitnya Rp10 hingga Rp15 triliun jika kebakaran terus meluas hingga Agustus atau Oktober. Angka ini termasuk kerugian langsung di sektor pertanian, biaya penanganan kesehatan, kerusakan ekosistem, serta dampak pada aktivitas industri dan jasa lainnya.
BMKG dan BNPB telah mengaktifkan operasi modifikasi cuaca di beberapa wilayah, termasuk Riau, untuk mempercepat proses hujan buatan. Helikopter water bombing juga dikerahkan guna memadamkan titik api yang sulit dijangkau oleh tim darat. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama aparat dan masyarakat, terus meningkatkan patroli dan edukasi untuk mencegah pembukaan lahan dengan cara membakar.
Musim kemarau tahun ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga Oktober, dengan puncak kekeringan pada Juli dan Agustus. Kondisi ini membuat ancaman karhutla tetap tinggi di beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, hingga Papua. Pemerintah pun meminta seluruh pihak untuk meningkatkan kewaspadaan, menjaga lingkungan, dan tidak melakukan pembakaran lahan secara ilegal.
Di tengah krisis iklim global, kebakaran hutan dan lahan menjadi tantangan serius yang tak hanya berdampak lokal, tetapi juga mengganggu stabilitas ekosistem dan ekonomi nasional. Upaya pencegahan dan mitigasi perlu dilakukan secara kolaboratif agar tragedi serupa tidak terus terulang setiap tahun.