HealthcareUpdate News

Kecanduan Game di Kalangan Anak Meningkat, Ancaman Kesehatan Mental di Depan Mata

Fenomena kecanduan game di kalangan anak-anak Indonesia semakin mengkhawatirkan, memicu dampak jangka panjang pada kesehatan mental dan fisik generasi mendatang.

Suasana di sebuah warung internet di Jakarta Timur pada Sabtu sore tampak penuh oleh anak-anak berseragam sekolah yang belum pulang. Mereka duduk berderet, fokus menatap layar, jemari lincah menggerakkan karakter dalam game daring. Bagi banyak orang tua, pemandangan ini bukan lagi hal baru, namun di balik keseruan tersebut tersimpan ancaman serius bagi perkembangan anak.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2018 telah resmi mengklasifikasikan “gaming disorder” sebagai gangguan kesehatan mental. Di Indonesia, penelitian di beberapa kota besar mengungkapkan bahwa sekitar 10,2 persen pelajar yang bermain game daring berisiko mengalami adiksi, dengan lebih dari separuh di antaranya masuk kategori parah. Kementerian Kesehatan mencatat bahwa satu dari sepuluh remaja di Indonesia menunjukkan gejala kecanduan game online, angka yang sejalan dengan prevalensi global di kisaran 8–10 persen.

Dalam riset yang dipublikasikan pada Journal of Medical Internet Research (2021), Dr. Siste dan rekan menyelidiki Internet Gaming Disorder di kalangan mahasiswa kedokteran Indonesia. Hasilnya menunjukkan prevalensi sekitar 2,03 % di kalangan mahasiswa—yang bermain rata-rata 19 jam per minggu—dan faktor risiko signifikan adalah durasi bermain ≥ 20 jam per minggu

Psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,  Kristiana Siste Kurniasanti, mengingatkan bahwa kecanduan game tidak sekadar hobi berlebihan. “Ada pasien yang sebenarnya sudah bosan bermain, tetapi tidak bisa berhenti karena kehilangan kontrol impuls. Itu tanda bahwa mekanisme otak yang mengatur pengendalian diri sudah terganggu,” ujarnya dalam wawancara. Menurutnya, paparan permainan yang memberikan reward cepat membuat otak terbiasa mencari kepuasan instan, sehingga sulit beradaptasi dengan proses yang membutuhkan kesabaran di dunia nyata.

Read More  Dari Motor ke Gerobak Bakso, Cara FIFGROUP Membantu Warga Meraih Mimpi

Kristiana Siste menjelaskan seseorang dikatakan mengalami gaming disorder jika ada gangguan kontrol, prioritas berlebihan terhadap bermain, serta intensitas dan durasi bermain yang meningkat meski menimbulkan dampak negatif. Ia juga menjelaskan bahwa game memberikan reward instan—nilai, prestasi, atau pujian—yang sulit ditemukan dalam interaksi sehari-hari

Psikolog anak, remaja, dan keluarga, Rosdiana Setyaningrum,  menambahkan bahwa peran orang tua sangat krusial. “Dukung minat anak jika mereka tertarik pada dunia game, tetapi tetap beri batasan waktu dan dorong mereka untuk mengeksplorasi kegiatan lain. Anak perlu punya banyak sumber kebahagiaan, tidak hanya dari layar,” katanya. Ia menekankan bahwa interaksi sosial di dunia nyata penting untuk membangun keterampilan komunikasi dan empati.

Dampak kecanduan game tak berhenti pada aspek mental. Kebiasaan duduk berjam-jam di depan layar meningkatkan risiko obesitas, gangguan postur, serta masalah penglihatan. Jika pola ini berlanjut hingga dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi pun meningkat. “Anak usia sekolah sebaiknya tidak menghabiskan lebih dari dua jam per hari untuk bermain game. Lebih dari itu, risiko kesehatan meningkat secara signifikan,” ujar dr. Kristiana.

Para ahli sepakat bahwa penanganan masalah ini harus melibatkan banyak pihak. Sekolah dapat mengintegrasikan literasi digital dan edukasi kesehatan mental dalam kurikulumnya, sementara pemerintah perlu memperluas program kampanye kesadaran publik. Di rumah, orang tua dapat menciptakan lingkungan yang menawarkan beragam aktivitas menyenangkan di luar dunia digital. Tanpa intervensi yang serius, bukan tidak mungkin Indonesia menghadapi generasi muda dengan kualitas kesehatan mental dan fisik yang menurun, mempengaruhi produktivitas dan daya saing bangsa di masa depan.

Back to top button