Point Of ViewUpdate News

Kecelakaan Kapal dan Masalah Sistemik Transportasi Air Kita

Oleh : Darmaningtyas , Pengamat Kebijakan Transportasi

Setiap kali kecelakaan kapal terjadi, kita selalu sibuk mencari tahu berapa jumlah korban, berapa kendaraan yang ikut tenggelam, dan barang apa saja yang diangkut. Padahal sebetulnya itu tidak perlu terjadi kalau manives penumpang dan barang dilakukan sebelum naik ke kapal. Sebelum kapal berangkat Syahbandar harusnya sudah tau kapal itu membawa berapa penumpang (dewasa maupun anak) dan berapa kendaraan. Tapi karena manives penumpang dan bawaan barang tidak dilakukan, akhirnya pada saat ada laka laut baru ribut mendata jumlah penumpangnya. Kita jarang melihat akar masalahnya secara lebih dalam. Belakangan ini yang kita saksikan hanyalah puncak dari gunung es terhadap persoalan transportasi air di negeri ini.

Saya melihat kecelakaan kapal yang terjadi dalam dua pekan terakhir adalah sinyal keras dari carut-marut tata kelola transportasi laut kita. Masalahnya sangat kompleks dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan menyebut “human error” sebagai penyebab utama. Ini masalah sistemik, baik dari segi regulasi, pengawasan, hingga keberpihakan terhadap operator agar dapat menyenggarakan angkutan laut yang berkeselamatan.

Mari kita lihat dari sisi operator kapal. Mereka berinvestasi besar untuk membeli kapal, merekrut awak, membayar bahan bakar, perawatan, dan sebagainya. Idealnya, kapal itu beroperasi 30 hari dalam sebulan, sehingga pendapatannya bisa maksimal. Tetapi kenyataannya, banyak kapal hanya bisa beroperasi hanya 9-15 hari dalam satu bulan. Ini artinya, biaya operasional kapal 30 hari itu hanya dibiayai dari operasional kapal yang hanya 9-15 hari tersebut.

Read More  Kecelakaan Laut Masih Sering Terjadi, Ini Akar Masalah dan Solusi Pencegahannya

Pendapatan yang didapat pun akhirnya tidak sebanding dengan biaya operasional yang tetap harus dikeluarkan. Akibatnya? Ada penghematan di sana-sini. Sayangnya, yang sering dikorbankan adalah aspek perawatan dan keselamatan, karena dampaknya tidak langsung terlihat oleh pengguna.

Hal ini berbahaya. Karena ketika perusahaan mulai menekan biaya, yang pertama kali dikurangi seringkali adalah pengeluaran untuk pemeliharaan rutin, peremajaan alat keselamatan, atau pengembangan SDM yang paham betul tentang keselamatan pelayaran. Maka jangan heran bila kemudian muncul kecelakaan.

Di sisi lain, kita selalu mendengar tentang data manifest yang tidak jelas setiap kali ada kecelakaan kapal. KNKT selalu kesulitan mengumpulkan data penumpang, jumlah kendaraan, hingga muatan kapal. Padahal, data itu seharusnya sudah tersedia di pelabuhan, di tangan syahbandar, dan bisa diakses dengan mudah. Kalau data seperti ini saja masih harus dicari-cari, bagaimana mungkin kita bisa bicara soal pengawasan keselamatan?

Ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan di lapangan. Pengawasan tidak bisa dilakukan hanya lewat dokumen. Perlu ada pengecekan langsung: apakah jumlah penumpang sesuai kapasitas, apakah barang-barang yang diangkut aman, apakah ada muatan berbahaya yang diselundupkan ke dalam kapal. Semuanya harus diperiksa secara nyata di lapangan, bukan sekadar tanda tangan di atas kertas.

Masalah lainnya adalah soal fasilitas keselamatan. Setiap kapal seharusnya punya jaket pelampung sesuai jumlah penumpang, ada sekoci yang cukup, dan peralatan evakuasi yang memadai. Memang, ada beberapa perusahaan yang memperhatikan ini dengan baik, bahkan mendapatkan penghargaan dari Kementerian Perhubungan karena komitmennya pada layanan prima. Tapi jumlahnya masih sedikit. Mayoritas operator kapal masih menganggap aspek keselamatan sebagai beban, bukan prioritas.

Untuk itu, pemerintah harus mulai membenahi dari hulu ke hilir. Regulator di tingkat pusat hingga daerah harus punya kompetensi yang sesuai dengan tugasnya. Jangan lagi ada petugas transportasi darat yang tiba-tiba dipindahkan mengurusi transportasi laut, karena regulasinya berbeda, medannya berbeda, risikonya juga berbeda.

Read More  Tips Berkendara Aman Saat Lalu Lintas Padat di Long Weekend

Masalah ini juga tidak bisa dilepaskan dari aspek bisnis. Kalau operator kapal terus rugi, mustahil mereka bisa meningkatkan layanan keselamatan. Oleh karena itu, perlu ada insentif bagi operator yang mau berinvestasi di aspek keselamatan. Bisa berupa pengurangan pajak, subsidi operasional, atau kebijakan lain yang mendorong mereka untuk memperbaiki kualitas pelayanannya.

Tarif angkutan penyeberangan pun perlu dievaluasi. Sudah ada kesepakatan untuk menaikkan tarif sejak Oktober 2023, tapi sampai sekarang belum juga diterapkan. Ini harus segera direalisasikan, sebab kalau ditunda terus, berarti operator harus memikul beban atas penyesuaian harga-harga kebutuhan seperti harga BBM, suku cadang, dan UMP. Dengan tarif yang mendekati biaya produksi, operator bisa memelihara kapalnya dengan baik, menyediakan SDM yang terlatih, dan mengutamakan keselamatan.

Indonesia adalah negara kepulauan. Transportasi air adalah urat nadi bagi banyak daerah. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan kecelakaan kapal menjadi berita yang berulang setiap tahun. Sudah saatnya semua pihak—pemerintah sebagai regulator, operator, dan masyarakat—bersama-sama berbenah. Karena jika tidak, tragedi demi tragedi di lautan akan terus berulang, dan kita akan kembali terjebak dalam lingkaran setan yang sama.

Regulator perlu meningkatkan pengawasan melalui SDM yang memiliki kompetensi. Oleh karena itu, penempatan SDM di pelabuhan-pelabuhan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan politis saja, mereka perlu diroling, tapi juga harus mempertimbangkan kompetensinya.

Back to top button