Kecelakaan Laut Masih Sering Terjadi, Ini Akar Masalah dan Solusi Pencegahannya
Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali menjadi cerminan nyata bahwa keselamatan transportasi laut di Indonesia masih jauh dari kata aman.

Suasana malam yang gelap dan berkabut berubah menjadi kepanikan besar ketika KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam dalam pelayaran dari Pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk, Rabu malam (2/7/2025). Kapal yang membawa 65 orang, termasuk kru dan pengemudi kendaraan, mengalami gangguan mesin kurang dari setengah jam setelah berangkat. Gelombang tinggi dan hilangnya keseimbangan membuat kapal miring tajam dan akhirnya karam di tengah Selat Bali.
Beberapa penumpang sempat melompat ke laut sebelum kapal benar-benar tenggelam. “Kami hanya bisa pasrah, gelap dan tidak tahu arah. Lampu mati, air sudah sampai dada,” kata Arifin (32), korban selamat, saat ditemui di posko darurat di Pelabuhan Gilimanuk.
Tim Basarnas mencatat enam korban meninggal dunia dan lebih dari 30 lainnya masih dalam pencarian. Operasi penyelamatan masih berlangsung meskipun cuaca buruk dan gelombang tinggi kerap menghambat proses pencarian.
nsiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya bukanlah kasus tunggal di tahun ini. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah kecelakaan laut juga terjadi di berbagai perairan Indonesia. Pada April lalu, kapal nelayan terbalik di Kepulauan Talaud akibat kelebihan muatan. Bulan Mei, KM Cahaya Abadi terbakar di perairan Seram, menewaskan tiga orang dan melukai belasan lainnya. Pada Juni, perahu wisata tenggelam di Danau Toba akibat cuaca ekstrem, menewaskan lima wisatawan.
Tragedi demi tragedi ini menunjukkan bahwa sistem keselamatan transportasi laut nasional masih menyisakan banyak celah.
Banyak Kapal Tak Layak, Tapi Tetap Berlayar
Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Kusworo, menyebutkan bahwa kelalaian prosedur dan minimnya perawatan kapal masih menjadi penyebab utama kecelakaan laut. Dalam konferensi pers di Jakarta, ia menyatakan bahwa sebagian besar kapal yang mengalami insiden sebetulnya sudah menunjukkan tanda-tanda teknis yang membahayakan, namun tetap dioperasikan.
“Masih banyak kapal yang tidak layak berlayar tapi tetap diizinkan jalan, bahkan di tengah cuaca buruk. Ini masalah sistemik, bukan hanya di operator tapi juga dalam pengawasan,” tegas Kusworo.
Menurutnya, keselamatan penumpang harus menjadi prioritas utama, bukan efisiensi waktu atau keuntungan ekonomi.
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kecelakaan laut di Indonesia. Kombinasi antara kerusakan mesin, cuaca ekstrem, kelebihan muatan, serta kurangnya edukasi keselamatan kepada kru dan penumpang menjadi penyebab utama.
Kementerian Perhubungan juga mengakui bahwa masih banyak pelabuhan kecil yang belum memiliki sistem pengawasan dan inspeksi teknis yang memadai. Kondisi ini membuat kapal-kapal kecil dan feri rakyat berisiko tinggi mengalami kecelakaan, terlebih di jalur padat seperti Selat Bali, Selat Sunda, dan lintas Sulawesi-Maluku.
Langkah Pencegahan Harus Lebih Progresif
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan kini tengah menyiapkan program reformasi keselamatan laut yang mencakup audit teknis berkala, digitalisasi pelacakan kapal secara real-time, hingga sertifikasi ulang armada feri lokal. Program pelatihan dan simulasi tanggap darurat untuk kru dan penumpang juga mulai diperluas.
Dirjen Perhubungan Laut, Antoni Arif Priadi, menyatakan bahwa pendekatan reaktif sudah tidak cukup. “Kita butuh sistem yang mencegah kecelakaan, bukan sekadar bereaksi setelah tragedi terjadi. Harus ada pengawasan yang konsisten, penggunaan teknologi, dan pembinaan berkelanjutan terhadap operator kapal,” ungkapnya.
Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya semestinya menjadi peringatan keras bahwa nyawa manusia terlalu mahal untuk dikorbankan karena kelalaian dan lemahnya sistem. Indonesia sebagai negara kepulauan seharusnya menjadi contoh dalam keselamatan laut, bukan menjadi langganan berita duka dari perairan sendiri.
Sudah saatnya keselamatan pelayaran tidak lagi dianggap sebagai pelengkap, tapi sebagai bagian utama dari sistem transportasi. Karena setiap tragedi di laut bukan hanya soal kapal yang tenggelam, tapi juga luka yang dalam bagi keluarga korban—dan luka itu seharusnya bisa dicegah.