FintalkSafe and SecureUpdate News

Kelas Menengah Menyusut 9,5 Juta Orang, Ancaman Nyata bagi Daya Beli

Penyusutan 9,5 juta orang dari kelas menengah Indonesia dalam lima tahun terakhir menjadi sinyal krisis daya beli yang mengancam fondasi ekonomi nasional.

Di sebuah pusat perbelanjaan yang dulu ramai di kawasan Bekasi, suasana kini jauh berbeda. Toko-toko pakaian tutup lebih awal, tenant makanan berganti lebih sering, dan diskon besar-besaran menjadi strategi bertahan. “Dulu, akhir pekan penuh keluarga. Sekarang, kami hanya berharap ada yang mampir,” ujar Rini, manajer toko yang telah bekerja di sana sejak 2017.

Fenomena ini bukan sekadar perubahan gaya hidup. Data terbaru dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia menyusut sebanyak 9,5 juta orang dalam lima tahun terakhir. Dari 57,33 juta jiwa pada 2019, kini hanya tersisa 47,85 juta jiwa pada 2024. Penurunan ini bukan hanya angka. Ia mencerminkan melemahnya daya beli, stagnasi konsumsi rumah tangga, dan ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, menyebut bahwa konsumsi domestik yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi kini melemah drastis. Meski inflasi terkendali dan Indonesia mencatat deflasi tahunan untuk pertama kalinya dalam 25 tahun, hal itu justru menunjukkan lemahnya permintaan. “Deflasi bukan kabar baik jika terjadi karena masyarakat tidak mampu membeli,” ujarnya.

Kelas menengah selama ini menjadi motor konsumsi, penyerap produk industri, dan penopang stabilitas sosial. Ketika mereka tertekan, dampaknya berlapis. Pertumbuhan PDB melambat, industri padat karya terpukul, dan investasi tertahan. Perusahaan menunda ekspansi dan fokus pada efisiensi. Di sisi lain, risiko sosial meningkat, ketimpangan ekonomi melebar, dan tekanan psikologis di masyarakat makin terasa.

Read More  Ada1.342 Aset Kripto Legal, OJK Siapkan Regulasi Blacklist untuk Jaga Pasar

Kontribusi konsumsi kelas menengah terhadap PDB turun dari 41,9 persen pada 2018 menjadi 36,8 persen pada 2023. Menurut Prof. Dr. Rahma Gafmi dari Universitas Airlangga, penurunan ini menunjukkan bahwa tekanan biaya hidup makin besar dan daya beli makin rapuh. “Jika kelas menengah terus menyusut, kita bukan hanya kehilangan konsumen, tapi juga kehilangan stabilitas sosial dan masa depan ekonomi yang inklusif,” ujarnya.

Para ekonom dan pelaku usaha menyerukan perlunya kebijakan yang lebih adaptif dan inklusif. Perluasan jaring pengaman sosial yang menjangkau kelas menengah rentan, insentif pajak dan subsidi konsumsi, serta penciptaan lapangan kerja produktif di sektor digital, hijau, dan kreatif menjadi langkah yang mendesak. Reformasi struktural juga dibutuhkan untuk memperkuat fondasi ekonomi domestik dan memastikan keberlanjutan kelas menengah sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

Menyusutnya kelas menengah bukan sekadar tren ekonomi, melainkan alarm sosial yang perlu ditanggapi dengan kebijakan strategis dan respons cepat. Indonesia membutuhkan pendekatan baru yang tidak hanya fokus pada angka makro, tetapi juga pada ketahanan konsumsi rumah tangga dan keberlanjutan kelas menengah sebagai fondasi masa depan ekonomi yang inklusif dan berdaya tahan.

Back to top button