Kemacetan Jakarta Mulai Terkendali, Kerugian Ekonomi dan Kesehatan Masih Jadi PR Besar
Meski Gubernur Jakarta Pramono menyebut kemacetan Ibu Kota lebih baik dari New York, data terbaru justru menunjukkan Jakarta tetap berada di posisi kritis sebagai salah satu kota termacet di dunia.

Jakarta perlahan keluar dari bayang-bayang sebagai kota termacet dunia. Berdasarkan data terbaru TomTom Traffic Index 2024, waktu tempuh rata-rata untuk jarak 10 kilometer di Ibu Kota saat ini adalah 25 menit 31 detik. Angka ini lebih baik dibandingkan New York yang mencapai 31 menit 6 detik, memunculkan klaim dari Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, bahwa Jakarta kini “lebih baik dari New York” dalam hal kemacetan.
Penurunan tingkat kemacetan ini dipengaruhi oleh integrasi moda transportasi publik seperti MRT, LRT, KRL, Transjakarta, hingga Transjabodetabek yang semakin terhubung dan mudah diakses. “Pergerakan masyarakat Jakarta kini lebih banyak dilakukan dengan transportasi umum. Ini hasil kerja keras kolektif lintas instansi dalam mengintegrasikan sistem transportasi yang selama ini terpecah-pecah,” ujar Pramono dalam keterangannya usai bertemu Wali Kota New York, Eric Adams, di forum urban mobility internasional awal bulan ini.
Namun di balik pencapaian itu, sejumlah tantangan besar masih membayangi.
Meski kemacetan menurun, riset INRIX Global Traffic Scorecard 2023 mencatat rata-rata pengemudi di Jakarta tetap kehilangan 65 jam per tahun karena terjebak di jalan. Lembaga Demografi FEB UI memperkirakan kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp100 triliun per tahun, terutama dari pemborosan bahan bakar, waktu produktif yang hilang, dan keterlambatan distribusi barang.
“Waktu tempuh yang lebih efisien memang patut diapresiasi, tapi efek sistemik dari kemacetan masih terasa di dunia usaha dan rumah tangga. Masih banyak titik rawan macet yang belum terurai, terutama di kawasan pinggiran dan koridor niaga,” jelas Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI.
Kemacetan juga membawa beban kesehatan yang besar. Budi Haryono, pakar paru dari RS Persahabatan, menyebut paparan polusi dari kendaraan bermotor saat terjebak macet sangat berbahaya, terutama bagi pengemudi ojek online dan pengguna sepeda motor. “Partikulat halus seperti PM2.5 bisa menembus paru-paru dan aliran darah, meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, hingga kanker paru. Paparan kronis selama bertahun-tahun bisa sangat mematikan,” ujarnya.
Data IQAir 2024 mencatat kualitas udara Jakarta masih masuk kategori tidak sehat pada sebagian besar hari kerja, terutama saat jam sibuk pagi dan sore. Kombinasi emisi kendaraan, minimnya ruang terbuka hijau, serta cuaca panas ekstrem memperburuk kondisi tersebut.
Apa yang Masih Jadi Pekerjaan Rumah?
Beberapa titik kemacetan kronis masih ditemukan di perbatasan Jakarta dan Bodetabek, seperti Jalan Raya Bogor, Tol Cikampek, hingga kawasan Kembangan dan Kalideres. Distribusi pembangunan infrastruktur transportasi yang belum merata membuat mobilitas warga pinggiran masih sangat tergantung kendaraan pribadi.
“Transportasi umum harus menyasar titik-titik kantong permukiman, bukan hanya koridor utama. Kalau tidak, kita hanya memindahkan macet dari pusat kota ke pinggiran,” ujar Yoga Adiwinarto, konsultan transportasi perkotaan dan mantan Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia.
Selain itu, Jakarta juga menghadapi tantangan perencanaan tata ruang yang belum sepenuhnya mendukung konsep kota kompak. Jumlah kendaraan bermotor juga masih terus bertambah. Data BPS DKI menyebutkan bahwa jumlah sepeda motor di Jakarta sudah menembus lebih dari 17 juta unit, sementara mobil penumpang mencapai hampir 4 juta unit.
Kemacetan Jakarta memang menunjukkan tren membaik, tapi belum sepenuhnya tuntas. Di tengah klaim bahwa Ibu Kota kini lebih baik dari New York, pekerjaan rumah terkait efisiensi transportasi, keadilan akses, serta penurunan dampak ekonomi dan kesehatan masih perlu ditangani serius. Harapan besar kini ada pada kebijakan jangka panjang: pembangunan TOD (Transit-Oriented Development), insentif kendaraan listrik, hingga perluasan jaringan transportasi massal.