HealthcareUpdate News

Kesehatan Mental di Kalangan Gen Z dan Gen Alpha, Tak Bisa Diabaikan

Tekanan akademik, media sosial, dan kesepian digital jadi penyebab utama krisis mental di kalangan Gen Z dan Gen Alpha.

Di sebuah kafe kecil di Jakarta Selatan, Nadine (16), siswa SMA yang baru naik kelas 12, menatap layar ponselnya dengan wajah lelah. Ia baru saja menyelesaikan serangkaian simulasi ujian masuk perguruan tinggi sambil tetap aktif membuat konten di TikTok—semuanya dalam satu hari.

“Kadang rasanya seperti hidup itu konten. Aku harus bagus di sekolah, aktif di medsos, tapi juga nggak boleh kelihatan stres. Capek banget,” katanya, sambil menunjukkan notifikasi dari aplikasi self-help yang ia unduh diam-diam.

Nadine adalah gambaran nyata dari krisis kesehatan mental yang kini melanda Gen Z dan Gen Alpha di Indonesia. Survei terbaru yang dirilis Institute for National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dan data dari APGJI (Asosiasi Psikolog Generasi Indonesia) mengungkapkan bahwa hampir 1 dari 3 anak muda Indonesia mengalami gejala kecemasan, stres kronis, atau gangguan suasana hati dalam satu tahun terakhir.

Menurut M. Irawan Pandu Negara, dosen psikologi Universitas Brawijaya yang juga aktif di riset remaja digital, tekanan terbesar datang dari ekspektasi sosial yang dibentuk oleh media sosial.

“FOMO (Fear of Missing Out), obsesi terhadap pencapaian, dan tekanan tampil sempurna secara online sangat membebani anak muda, terutama Gen Z yang mulai memasuki usia dewasa awal,” jelas Irawan.

Di sisi lain, Gen Alpha—anak-anak yang lahir sejak 2010—mengalami efek jangka panjang dari isolasi sosial semasa pandemi. Minimnya interaksi nyata di usia pertumbuhan membuat mereka lebih mudah mengalami kecemasan, bahkan sejak usia SD. Data dari WHO dan UNICEF menunjukkan peningkatan signifikan kasus ADHD, gangguan kecemasan, dan kesulitan berinteraksi sosial pada anak-anak pascapandemi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Read More  Tips Menjaga Kesehatan dan Kebugaran bagi Jemaah Haji di Tanah Suci

Krisis mental ini tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga dapat menimbulkan risiko sosial yang lebih besar. Psikolog remaja dari APGJI, Eka Nurani, menyebutkan bahwa jika tidak ditangani, kondisi ini bisa memicu peningkatan angka putus sekolah, kekerasan emosional, bahkan kecenderungan menyakiti diri sendiri.

“Kita sudah mulai melihat gejala kolektif seperti meningkatnya apatisme, isolasi sosial, hingga burnout pada usia yang makin muda. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi time bomb bagi produktivitas nasional,” ujar Eka.

Kondisi ini diperparah oleh kurangnya akses terhadap layanan kesehatan jiwa yang terjangkau dan ramah anak muda. Banyak remaja masih takut dicap “lemah” atau “tidak normal” jika pergi ke psikolog, padahal mereka butuh bantuan.

Pendidikan Emosi dan Dukungan Sosial

Para ahli sepakat, pencegahan krisis ini harus dimulai dari rumah dan sekolah. Salah satu pendekatan yang kini digaungkan adalah edukasi kesehatan mental sebagai bagian dari kurikulum, sebuah gagasan yang didukung oleh 63 persen Gen Z Indonesia menurut survei IDN Research Institute 2024.

Irawan menambahkan bahwa penting bagi sekolah untuk tidak hanya fokus pada prestasi akademik, tapi juga menciptakan ruang aman bagi murid untuk berbicara tentang perasaan mereka.

Di lingkungan keluarga, keterbukaan dan komunikasi dua arah antara orang tua dan anak menjadi benteng awal. Sementara di masyarakat, platform digital juga perlu lebih bertanggung jawab dalam menyaring konten dan membatasi tekanan algoritma yang membuat anak muda terus merasa harus “sempurna”.

Meski tantangannya besar, ada optimisme yang tumbuh. Generasi muda kini lebih terbuka dalam membicarakan kondisi mental mereka. Komunitas seperti Into The Light Indonesia, Sehat Mental Indonesia, dan gerakan mental health awareness di media sosial telah menjadi wadah penting bagi anak muda untuk saling mendukung.

Read More  TransTRACK Ekspansi ke Singapura, Dorong Digitalisasi dan Dekarbonisasi Transportasi

“Dulu bicara soal mental health itu tabu. Sekarang kita bisa lihat anak-anak muda dengan bangga bilang, ‘Aku ke psikolog hari ini’. Itu perubahan besar,” tutup Irawan.

Dengan dukungan sistemik yang lebih kuat—dari pendidikan, keluarga, layanan kesehatan hingga regulasi digital—krisis kesehatan mental ini bukan akhir, melainkan panggilan awal untuk perubahan cara kita memahami generasi masa depan.

Back to top button