Ketika ChatGPT Menyelesaikan Misteri Kesehatan yang Terlewat Dokter
Seorang wanita bernama Shreya membagikan pengalaman bagaimana ChatGPT membantu menemukan penyebab penyakit kronis yang gagal didiagnosis oleh sejumlah dokter—kisah yang membuka ruang diskusi tentang potensi AI medis di Indonesia.

.
Shreya membagikan pengalamannya melalui unggahan viral di platform X (Twitter) pada Juli 2025. Setelah 18 bulan bergulat dengan penyakit yang tak terdiagnosis oleh banyak dokter, ChatGPT memberi petunjuk penting yang mengarah pada dugaan efek samping obat—sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dugaan itu akhirnya dikonfirmasi lewat pemeriksaan medis lanjutan dan membawa kejelasan bagi keluarganya
Kisah ini memperlihatkan bagaimana AI dapat menjadi second opinion pasien, terutama saat sistem medis konvensional gagal memberikan jawaban.
Di Indonesia, potensi serupa sedang dibanjiri perhatian. Menurut Staf Ahli Kementerian Kesehatan, Setiaji, meskipun AI seperti ChatGPT dapat membantu mendeteksi gejala awal, hasilnya tidak bisa dijadikan patokan utama tanpa konsultasi dokter. Publik diimbau menggunakan AI sebagai referensi, bukan pengganti diagnosis profesional
Sementara itu, riset internasional menunjukkan bahwa AI dapat mendukung diagnosis medis: studi oleh Osaka Metropolitan University menyimpulkan AI generatif memiliki tingkat akurasi setara dokter non-spesialis—yakni sekitar 52,1%, tidak terlalu jauh dari performa dokter. Penelitian lain juga membuktikan ChatGPT mampu menyelesaikan kasus neuro‑oftalmologi dengan akurasi hingga 82% pada versi GPT‑4 Plus
Di Indonesia, penerapan AI dalam layanan kesehatan pun semakin nyata. Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), AI digunakan oleh startup seperti DoctorTool. Aplikasi ini memanfaatkan teknologi untuk membantu puskesmas di daerah terpencil melakukan screening awal. Dengan AI, perawat bisa mendapatkan rekomendasi tindakan medis meski dokter tidak hadir langsung.
Pengembangan ini sejalan dengan kebijakan dari Philips Indonesia, yang mendukung sistem AI untuk mempercepat diagnosis penyakit jantung dan memperluas akses layanan di daerah terpencil.
Menurut narasumber dari DoctorTool, penggunaan AI bisa meningkatkan efisiensi, mempercepat diagnosis, dan membantu deteksi dini di wilayah yang kekurangan tenaga medis. Meski begitu, keputusan akhir tetap berada di tangan dokter.
Meskipun begitu, tidak sedikit kekhawatiran terkait potensi kesalahan diagnosis AI. Dari berbagai laporan di media, menunjukkan riset di Amerika bahwa ChatGPT memberikan diagnosis yang “amburadul” pada kasus anak-anak dengan kesalahan hingga 83% dalam studi berbasis kasus pediatrik
Dari perspektif global dan lokal, cerita Shreya menjadi pengingat bahwa AI bisa menyelamatkan nyawa dengan membuka opsi diagnosis yang mungkin terlupakan. Namun AI tidak sempurna dan tidak boleh menggantikan dokter. Ia layak dijadikan asisten dalam proses pencarian kebenaran medis.
Mungkin, di masa depan, integrasi antara AI seperti ChatGPT, teknologi CAD berbasis machine learning untuk pencitraan medis, serta kolaborasi langsung dengan tenaga kesehatan profesional akan menjadi mekanisme yang lebih umum. Jika vakum diagnosis terjadi, penggunaan AI dapat memberi jalur tambahan untuk memicu investigasi lebih lanjut.