Krisis Mental di Tengah Konflik: Ketika Perang Tak Lagi Hanya Melukai Fisik
Lonjakan gangguan psikologis pasca serangan rudal membuktikan: di era modern, medan perang utama bisa jadi terletak di dalam pikiran manusia.

Ketika sirene rudal meraung dan langit memerah oleh kilatan serangan, ancaman tak lagi hanya berupa pecahan logam atau bangunan runtuh. Di balik bunker dan ruang isolasi, jutaan warga sipil kini menghadapi musuh yang tak terlihat: trauma mental. Konflik bersenjata Iran-Israel yang meletus awal Juni telah memicu gelombang gangguan psikologis besar-besaran, terutama di wilayah urban Israel yang selama ini relatif tenang dari serangan langsung.
Laporan dari Asosiasi Pusat Trauma Israel menyebutkan lonjakan hingga 350% dalam kasus gangguan stres akut, panik, insomnia, dan paranoia, hanya dalam dua minggu sejak serangan dimulai. Para korban melaporkan gejala seperti gemetar berulang, rasa terisolasi ekstrem, kehilangan minat sosial, hingga ketidakmampuan meninggalkan tempat perlindungan bahkan saat situasi telah aman.
Sementara itu, hotline layanan konseling psikologis menerima ribuan panggilan harian, yang sebagian besar datang dari anak-anak dan lansia—dua kelompok paling rentan dalam situasi krisis. Pemerintah setempat telah mengaktifkan protokol Mental Resilience Command Center, menyediakan terapi daring, akses psikolog gratis, hingga robot terapi berbasis AI yang bekerja sebagai pendengar dan pelatih pernapasan di rumah-rumah berlindung.
Menurut Dr. Leah Kesten, psikiater klinis dari Tel Aviv Institute of Neuroscience, “Kita memasuki era di mana efek samping dari perang bukan hanya luka dan kematian, tetapi fragmentasi kolektif jiwa manusia. Ketika tubuh bisa diselamatkan oleh bunker, pikiran butuh perlindungan lain—empati, teknologi, dan kehadiran sesama.”
Fenomena ini memperkuat tren global bahwa kesehatan mental adalah dimensi utama dari kesiapsiagaan sipil, setara dengan logistik dan sistem pertahanan udara. Dengan ancaman yang semakin tidak terduga—baik dalam bentuk fisik maupun siber—kota masa depan perlu mempersiapkan protokol trauma sebagai bagian dari sistem publik utama, mulai dari ruang isolasi emosional di shelter hingga chatbot terapi yang dibekali model empati digital.