Krisis Pekerjaan Layak: Pekerja Informal Makin Banyak, Formal Makin Sulit
Indonesia tengah menghadapi krisis lapangan kerja formal yang bikin banyak pekerja terpaksa beralih ke sektor informal demi bertahan hidup.

Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis lapangan kerja yang layak. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 59,40% tenaga kerja bekerja di sektor informal—setara dengan hampir 86,6 juta orang per Februari 2025. Angka ini terus meningkat sejak pandemi, ketika pekerja formal sulit menyerap angkatan kerja baru.
Pendekatan ini bertahan sebagai respons pragmatis: gelombang PHK dan keterbatasan lapangan kerja formal mendorong banyak pekerja masuk ke gig economy, bekerja paruh waktu, sebagai ojek daring, kurir, atau berdagang mandiri di jalanan. Namun, sebagaimana diungkap oleh LPEM UI, solusi ekonomi informal ini bersifat rapuh karena umumnya tidak mencakup perlindungan sosial seperti BPJS, jaminan pensiun, atau kompensasi kehilangan pekerjaan.
Fenomena ini bukan hanya soal statistik, tetapi menyentuh fondasi kesejahteraan pekerja. Menurut ANTARA, Wamenaker Immanuel Gerungan menyatakan bahwa tingginya jumlah pekerja informal menjadi “sinyal” bahwa reformasi struktural diperlukan untuk mendorong transisi ke kerja formal yang lebih stabil dan dilindungi, termasuk melalui pelatihan vokasi dan digitalisasi layanan ketenagakerjaan.
Apresiasi terhadap urgensi ini juga datang dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga, yang menyebut tingginya proporsi pekerja informal sebagai hambatan serius dalam memanfaatkan bonus demografi. Lebih lanjut, hanya sekitar 41% angkatan kerja yang berada di sektor formal, sementara sisanya melonjak ke ranah informal.
Data Kompas turut menyoroti bahwa kelompok ultramikro, seperti pedagang keliling, ojek pangkalan, dan pengamen, semakin terpaut ketat dari kondisi ekonomi. Tanpa bantuan sosial yang memadai, mereka semakin sulit bertahan saat kebutuhan ekonomi naik ataupun terjadi perubahan tren konsumsi.
Secara keseluruhan, situasi ini menjadi “bom waktu ekonomi”. Ketua Kajian Sosial & Ketenagakerjaan LPEM UI, Muhammad Hanri, mengingatkan bahwa krisis ini jika dibiarkan bisa merembet ke masalah sosial dan ekonomi jangka panjang: menurunnya daya beli, meningkatnya ketimpangan, serta potensi gelombang lanjut usia yang rentan secara finansial.