FintalkUpdate News

Lapangan Kerja Formal Tertinggal, Mayoritas Pekerja Indonesia Masih di Sektor Informal

Penciptaan lapangan kerja formal di Indonesia belum mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja baru, membuat jutaan orang beralih ke sektor informal.

Di sebuah pasar tradisional di Bekasi, Dedi (34) tampak sibuk mengatur tumpukan sayur di lapaknya. Ia dulu bekerja sebagai operator di pabrik otomotif, namun sejak perusahaan tempatnya bekerja melakukan efisiensi dua tahun lalu, Dedi memilih membuka usaha kecil sendiri. “Cari kerja sekarang susah, apalagi buat yang cuma lulusan SMA. Jadi saya usaha aja, walau nggak pasti hasilnya,” katanya.

Kisah Dedi menggambarkan kondisi tenaga kerja Indonesia yang masih didominasi sektor informal. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, sebanyak 59,40 persen penduduk yang bekerja berada di sektor informal atau sekitar 86,58 juta orang. Sementara itu, pekerja di sektor formal hanya 40,60 persen atau sekitar 59,19 juta orang.

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa peningkatan jumlah pekerja informal ini disebabkan karena pertumbuhan lapangan kerja formal belum sebanding dengan pertambahan angkatan kerja baru. Pada Februari 2025, jumlah angkatan kerja tercatat mencapai 153,05 juta orang, naik sekitar 3,67 juta dibanding tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, 7,28 juta orang masih menganggur.

Sektor informal mencakup mereka yang bekerja sendiri, pekerja bebas, buruh tidak tetap, hingga pekerja keluarga yang tidak dibayar. Mereka umumnya bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian pendapatan tetap.

Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Sonny Dewi Judiasih, mengatakan tren ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor informal. “Pekerjaan formal sulit diciptakan karena investasi padat karya belum tumbuh optimal, sementara kebutuhan kerja terus meningkat,” ujarnya.

Read More  Program Keluarga Cemara di Semarang, Cegah Stunting Sejak Dini

Menurut Sonny, banyak pekerja yang akhirnya beralih ke sektor informal untuk bertahan hidup. “Bisa dibilang, sebagian besar pekerja kita memang bekerja sebagai buruh, tapi dalam arti luas — bukan hanya di pabrik, melainkan juga buruh jasa, pekerja harian, atau usaha mikro yang tidak memiliki perlindungan kerja,” katanya.

Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas. Program pelatihan vokasi, peningkatan produktivitas UMKM, dan perluasan investasi padat karya disebut sebagai langkah penting untuk memperbesar sektor formal.

Meski demikian, bagi pekerja seperti Dedi, sektor informal tetap menjadi sandaran utama. “Yang penting ada pemasukan tiap hari. Soal formal atau nggak, yang penting bisa hidup,” ujarnya sambil tersenyum, menutup percakapan sebelum melayani pelanggan berikutnya.

Back to top button