HealthcareUpdate News

Macet Bukan Sekadar Gangguan Lalu Lintas, Polusi Bisa Rusak Tubuh dan Emosi

Kemacetan harian di Jalan TB Simatupang bukan cuma bikin telat sampai kantor—tapi juga bisa merusak paru-paru, memicu stres, dan mengganggu suasana hati.

etiap pagi dan sore, ribuan pengendara terjebak di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Kawasan yang menjadi koridor bisnis dan perkantoran ini kini berubah menjadi titik kemacetan paling kronis di ibu kota. Proyek galian pipa, penyempitan jalur, dan padatnya kendaraan pribadi membuat waktu tempuh membengkak, emosi memanas, dan tubuh perlahan terpapar risiko yang tak terlihat.

Kemacetan bukan sekadar soal waktu yang terbuang atau produktivitas yang terganggu. Studi terbaru dari MIT, Chinese Academy of Sciences, dan Duke University menunjukkan bahwa suhu ekstrem dan polusi udara yang menyertainya dapat memicu emosi negatif secara signifikan. Penelitian ini menganalisis lebih dari satu miliar unggahan media sosial dari 157 negara, dan menemukan bahwa saat suhu naik dan polusi meningkat, nada emosional manusia berubah: lebih mudah marah, stres, dan cemas. Di negara berpendapatan rendah, dampaknya bahkan tiga kali lebih besar dibandingkan negara kaya.

Di TB Simatupang, polusi berasal dari emisi kendaraan, debu proyek konstruksi, dan minimnya ruang hijau. Ketika pengendara terjebak berjam-jam di tengah kemacetan, tubuh mereka menghirup partikel halus seperti PM2.5 dan karbon monoksida. Paparan ini dapat memicu peradangan saluran napas, meningkatkan risiko asma, gangguan jantung, tekanan darah tinggi, hingga stres kronis yang memengaruhi kualitas tidur dan suasana hati. Tak sedikit yang mengaku lebih mudah tersulut emosi, sulit fokus, dan merasa lelah secara mental setelah melewati jalur ini setiap hari.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengakui bahwa kemacetan di TB Simatupang merupakan dampak dari pembangunan infrastruktur yang belum selesai. Ia menjanjikan solusi jangka pendek seperti pemanfaatan trotoar sementara dan penambahan armada Transjakarta. Namun bagi warga yang melintasi jalur ini setiap hari, janji itu belum cukup. Rani (32), pegawai swasta yang berkantor di kawasan Cilandak, mengaku bahwa kemacetan membuatnya lebih mudah marah, pusing, dan sulit tidur. “Macet bukan cuma bikin telat. Saya jadi gampang emosi dan rasanya capek terus,” ujarnya.

Read More  Bitcoin Sentuh Rp1,73 Miliar, Pasar Bersiap Sambut Rekor Tertinggi Baru

Di tengah krisis iklim dan urbanisasi yang makin padat, kemacetan seperti di TB Simatupang bukan lagi sekadar tantangan transportasi. Ini adalah isu kesehatan publik yang mendesak. Polusi udara dan tekanan psikologis yang ditimbulkan bisa menjadi pemicu gangguan kesehatan yang tak terlihat, tapi nyata. Di masa depan, kebijakan transportasi dan tata kota harus mempertimbangkan dampaknya terhadap tubuh dan emosi manusia. Karena jalanan yang macet bisa menjadi awal dari krisis yang lebih besar: stres kolektif dan kesehatan yang memburuk.

Back to top button