Mengapa PPATK Bekukan Rekening Warga dan Apa Risikonya?
PPATK memblokir ribuan rekening yang terindikasi aktivitas ilegal. Mengapa ini terjadi, apa hak nasabah, dan bagaimana agar rekening Anda aman?

Erna Wulandari (34), seorang pengusaha katering di Jakarta Selatan, nyaris kehilangan kontrak besar senilai ratusan juta rupiah karena rekening bank miliknya mendadak diblokir. Ia baru menyadari ketika salah satu klien tidak bisa mentransfer pembayaran. Ketika menghubungi bank, jawabannya mengejutkan: “Rekening Anda diblokir atas permintaan PPATK.”
“Saya panik. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Uang saya aman, tapi tidak bisa diakses. Aktivitas usaha langsung lumpuh,” kata Erna kepada redaksi. Ia mengaku tidak pernah terlibat transaksi mencurigakan, apalagi kegiatan ilegal.
Kasus Erna bukan satu-satunya. Fenomena pemblokiran rekening oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) makin marak terjadi, seiring penguatan sistem pengawasan transaksi keuangan di Indonesia.
PPATK memiliki wewenang memantau, menganalisis, dan merekomendasikan pembekuan rekening bila menemukan indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU), pendanaan terorisme, hingga penipuan online atau judi daring.
Menurut Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, sepanjang Januari 2023 hingga Mei 2025, lebih dari 15.000 rekening telah dibekukan karena terindikasi digunakan untuk aktivitas ilegal. “Kami bekerja sama dengan bank, OJK, dan aparat penegak hukum. Pemblokiran dilakukan jika ada dugaan kuat transaksi mencurigakan,” jelas Ivan dalam jumpa pers di Jakarta, April 2025 lalu.
Salah satu lonjakan terbesar pemblokiran terjadi akibat masifnya perputaran uang dari judi online, pinjaman ilegal, dan investasi bodong. PPATK mencatat, selama tahun 2024 saja, transaksi judi online mencapai lebih dari Rp327 triliun, melibatkan ribuan rekening atas nama perorangan maupun entitas.
“Modusnya makin canggih. Banyak rekening dibuka atas nama orang lain (rekening ‘joki’) untuk menyamarkan aktivitas. Ini yang kami kejar,” ungkap Ivan.
Nasabah Tak Bersalah Ikut Terdampak
Namun, dalam banyak kasus, masyarakat biasa yang tak tahu-menahu bisa ikut terseret. Hal ini terjadi ketika rekening seseorang dipinjam, dipalsukan, atau dipakai oleh pihak lain untuk kejahatan. “Ada juga rekening yang digunakan untuk transfer antar pihak pinjaman online ilegal. Korbannya jadi terindikasi,” ujar Teguh Arifianto, pengamat hukum ekonomi dari Universitas Gadjah Mada.
Menurut Teguh, penting bagi masyarakat untuk memahami risiko penyalahgunaan rekening. “Jangan asal meminjamkan rekening, jangan tergoda jadi joki rekening. Sekali terlibat, sulit bersih dari investigasi PPATK,” tambahnya.
Mekanisme Pemblokiran dan Hak Nasabah
PPATK tidak bisa langsung memblokir rekening. Sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pemblokiran dilakukan atas permintaan atau rekomendasi kepada penyedia jasa keuangan, biasanya bank, kemudian dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum.
Nasabah yang rekeningnya dibekukan bisa mengajukan keberatan atau klarifikasi melalui bank, namun proses ini memerlukan waktu dan tidak serta-merta mengembalikan akses.
“Karena itu, edukasi penting. Masyarakat harus sadar bahwa setiap transaksi kini diawasi lebih ketat. Transfer uang bukan lagi sekadar kirim-menerima, tapi ada implikasi hukum,” ujar Suahasil Nazara, Wakil Menteri Keuangan RI, dalam Forum Literasi Keuangan Nasional, Mei 2025.
Transaksi Digital Aman, Tapi Tetap Waspada
Di era digital, perputaran uang makin cepat dan tak terbatas jarak. Tapi di balik kenyamanan itu, risiko juga meningkat. Cybercrime dan pencucian uang makin kompleks, dan PPATK harus bekerja cepat mencegah kerugian negara dan publik.
Bagi masyarakat, penting untuk tidak meminjamkan rekening kepada siapa pun. Waspada jika diminta menjadi “rekening penampung”. Hanya bertransaksi dengan platform dan institusi yang terdaftar resmi. Segera lapor jika ada aktivitas mencurigakan di rekening
Langkah PPATK ini menjadi bagian penting dalam menjaga sistem keuangan nasional tetap sehat dan terpercaya. Namun di sisi lain, perlindungan terhadap nasabah yang tidak bersalah juga harus diperhatikan.
Jika edukasi dan literasi keuangan masyarakat bisa ditingkatkan, maka ke depan akan semakin sedikit korban rekening yang ‘disusupi’, dan semakin kuat pula ketahanan digital Indonesia dari sisi finansial.