Mengkhawatirkan, Lebih dari 52 Persen Anak SD Sulit Beraktivitas karena Gangguan Penglihatan
Lebih dari separuh anak SD mengalami kesulitan beraktivitas akibat gangguan penglihatan, menurut hasil studi terbaru PedEyeQ.
Gangguan penglihatan kini menjadi salah satu masalah kesehatan anak yang paling mengkhawatirkan. Temuan terbaru dari situs skrining kesehatan mata anak Cermata menunjukkan bahwa 52,3 persen anak SD di Jakarta mengaku kesulitan beraktivitas karena penglihatan yang terganggu, baik saat membaca, melihat jarak jauh, maupun fokus pada pelajaran.
Data tersebut diperoleh dari studi pendahuluan yang dilakukan Health Collaborative Center (HCC) bersama Laulima Eye Health Initiative dan Indonesian Health Development Center (IHDC) pada awal tahun 2025. Penelitian ini melibatkan 1.254 pelajar SD dan SLB di Jakarta, menggunakan PedEyeQ, yaitu instrumen penelitian internasional yang telah divalidasi untuk menilai dampak kesehatan mata terhadap kualitas hidup anak usia 5â11 tahun.
Dalam pemaparannya, dr. Kianti Raisa Darusman, SpM(K) â Project Leader sekaligus peneliti utama Cermata dari Siloam Hospitals Menteng â menjelaskan bahwa hasil PedEyeQ mengungkap sejumlah temuan penting. Sebanyak 52,3 persen anak menganggap dirinya mengalami kesulitan dalam aktivitas yang memerlukan penglihatan, seperti membaca, melihat jauh, atau melihat dekat. Selain itu, 48,9 persen anak mengeluhkan mata cepat lelah, pegal, dan pandangan kabur yang membuat mereka sulit fokus saat belajar. Sekitar 21,5 persen merasa penglihatannya memengaruhi interaksi sosial, dan 30,3 persen mengaku frustrasi atau khawatir karena merasa berbeda dari teman-temannya.
Yang menarik, anak perempuan disebut dua kali lebih berisiko mengalami gangguan fungsi mata dibanding anak laki-laki. âBiasanya anak perempuan jarang bermain di luar ruangan. Padahal aktivitas luar ruang itu faktor protektif terhadap mata minus,â kata dr. Kianti dalam konferensi pers peluncuran Cermata di Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).
Survei tersebut juga mengungkap perilaku harian yang berkontribusi pada meningkatnya gangguan penglihatan anak. Sebanyak 63 persen anak menggunakan gawai dalam waktu lama setiap hari, sementara 55 persen memiliki aktivitas luar ruangan yang rendah. Akibatnya, keluhan seperti mata cepat lelah (34 persen), berair (28 persen), dan silau (23 persen) semakin banyak dilaporkan.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2014â2019, Prof. Nila F. Moeloek, yang menjadi penasihat utama pengembangan Cermata, menegaskan pentingnya paparan cahaya alami bagi kesehatan mata anak. Menurutnya, saat di luar ruangan, otot mata lebih sering digunakan untuk melihat objek jarak jauh. Hal itu melatih sekaligus mengistirahatkan mata dari fokus dekat yang terus-menerus, seperti saat anak menatap layar gawai atau membaca di dalam ruangan. Karena itu, ia menganjurkan agar waktu istirahat di sekolah dimanfaatkan anak untuk keluar kelas dan bermain di luar ruangan.
Penelitian juga menemukan bahwa gangguan penglihatan berdampak pada kondisi emosional anak. Dalam wawancara dengan 40 anak pengguna kacamata, 50 persen mengaku pernah diejek karena memakai kacamata, 57 persen mengalami gejala kecemasan berat (ansietas), dan 67 persen menunjukkan tanda depresi. âStigma terhadap anak berkacamata masih sangat nyata di sekolah. Kadang mereka dianggap nakal atau tidak fokus, padahal penyebabnya adalah gangguan penglihatan,â jelas dr. Kianti.
Prof. Nila menambahkan, kesalahpahaman semacam ini sering membuat anak tampak gaduh atau sulit diatur di kelas, padahal sebenarnya mereka hanya tidak bisa melihat papan tulis dengan jelas. Ia menegaskan pentingnya kesadaran guru dan orang tua untuk melakukan pemeriksaan mata secara berkala, terutama jika anak mulai menunjukkan tanda-tanda sulit fokus, sering menyipitkan mata, atau mengeluh pusing saat belajar.
Berbagai studi internasional telah menunjukkan bahwa aktivitas di luar ruangan minimal dua jam per hari dapat menurunkan risiko rabun jauh (mata minus) pada anak. Paparan sinar alami membantu mengatur pertumbuhan bola mata dan menjaga fokus penglihatan tetap stabil. Karena itu, pakar mata menyarankan agar sekolah menyediakan waktu bermain di luar ruangan dan orang tua membatasi penggunaan gawai, terutama untuk anak usia SD. âJaga keseimbangan antara waktu layar dan waktu luar ruang. Itu kunci agar anak tumbuh dengan penglihatan yang sehat,â pungkas dr. Kianti.





