Safe and SecureUpdate News

Mobil Listrik di Indonesia: Antara Gengsi, Efisiensi, dan Harapan Lingkungan

Mobil listrik kian diminati masyarakat Indonesia, namun alasan di balik pembelian kendaraan ini ternyata lebih kompleks daripada sekadar peduli perubahan iklim.

Jalanan ibu kota kini semakin akrab dengan deru senyap mobil listrik. Dari pusat kota hingga kawasan penyangga, mobil tanpa knalpot ini menjadi pemandangan sehari-hari. Namun di balik tren tersebut, alasan masyarakat Indonesia beralih ke kendaraan listrik ternyata tidak sesederhana upaya menyelamatkan bumi.

Hasil survei CORE Indonesia mengungkapkan, sebagian besar konsumen membeli mobil listrik karena pertimbangan ekonomi dan gaya hidup, bukan semata kesadaran iklim. “Ada insentif yang membuat biaya lebih murah, ada pula faktor gengsi karena mobil ini dianggap modern dan ramah lingkungan,” kata Yusuf Rendy Manilet, ekonom CORE, saat ditemui di Jakarta.

Data penjualan juga mendukung temuan ini. Pada 2024, pangsa pasar mobil listrik hanya mencapai 4,98 persen dari total penjualan mobil baru, sementara motor listrik bahkan hanya 1,1 persen. Rendahnya angka adopsi ini menandakan bahwa meski tren meningkat, pasar EV di Indonesia masih tahap awal.

Survei lain menyoroti alasan tambahan di balik keputusan membeli EV. Riset Populix menemukan 67 persen konsumen membeli mobil listrik untuk mengurangi polusi udara, sementara 45 persen tertarik karena biaya perawatan lebih rendah. Bagi sebagian pembeli, pilihan ini adalah kombinasi antara kepedulian terhadap lingkungan dan pertimbangan praktis. “Bagi saya, ini bukan cuma soal gaya, tapi juga hemat biaya dan lebih tenang dipakai di dalam kota,” ujar Arief, pengguna mobil listrik yang ditemui di SPKLU kawasan Sudirman.

Read More  OCBC Terbitkan Obligasi Rp1,5 Triliun untuk Dorong Pertumbuhan Kredit

Namun, tantangan masih mengintai di lapangan. Infrastruktur pengisian daya yang belum merata membuat banyak calon konsumen ragu. Survei Katadata Insight Center menyebut 70,4 persen masyarakat mengeluhkan minimnya SPKLU, sementara 42,8 persen menganggap harga EV masih terlalu mahal. Keraguan soal durabilitas baterai dan harga jual kembali juga menjadi faktor penghambat adopsi yang lebih masif.

Meski begitu, langkah pemerintah memperluas jaringan SPKLU dan memberikan insentif pajak terus mendorong optimisme. Dengan penambahan stasiun pengisian di pusat perbelanjaan, kantor pemerintahan, hingga rest area tol, konsumen kini punya lebih banyak pilihan untuk mengisi daya kendaraan mereka.

Perubahan pola pikir generasi muda juga membuka peluang besar. Segmen Gen Z dan milenial yang lebih melek isu lingkungan dan teknologi disebut menjadi penggerak utama pertumbuhan pasar mobil listrik di tahun-tahun mendatang.

Kini, mobil listrik di Indonesia bukan lagi sekadar simbol gaya hidup. Ia menjelma sebagai solusi alternatif: lebih hemat, lebih modern, dan perlahan menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Back to top button