Pakar Peringatkan Risiko “Otak Lemah” Akibat Screen Time Berlebihan
Screen time berlebihan kini dipandang sebagai ancaman baru terhadap daya pikir masyarakat di era digital.

Rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia di depan layar kini mencapai 7,5 jam per hari, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan durasi screen time tertinggi di dunia. Data ini dirilis oleh Electronics Hub dalam laporan global yang dipublikasikan pada Mei 2025, dan semakin menegaskan urgensi literasi digital yang berimbang.
Durasi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat paparan layar tertinggi secara global, melampaui Malaysia dan Thailand, dan terpaut jauh dari Jepang yang hanya mencatat 3,5 jam.
Peringatan pun datang dari pemerintah. Dalam forum literasi digital nasional, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Prof. Pratikno, mengungkap bahwa durasi screen time yang tinggi berpengaruh langsung terhadap cara masyarakat berpikir dan bertindak.
“Tingginya screen time bukan sekadar soal hiburan digital. Ia turut memengaruhi bagaimana masyarakat berpikir, merasa, dan mengambil keputusan. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi soal jati diri digital kita sebagai bangsa,” jelasnya, Selasa (18/6).
Pratikno juga menekankan pentingnya transisi dari kebiasaan scrolling pasif menuju penggunaan layar yang produktif dan penuh kesadaran, terutama di kalangan generasi muda.
Fenomena yang dikenal sebagai “brain rot” turut mendapat perhatian kalangan medis. Pakar kesehatan digital dari Halodoc, dr. Budiyanto, MARS, menyebut bahwa paparan konten cepat tanpa arah yang jelas bisa menurunkan fungsi kognitif otak. “Otak kita dirancang untuk proses berpikir mendalam. Kalau terus-menerus diberi rangsangan instan, ia akan kehilangan ketajamannya,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Dr. Nabila Mahardika, peneliti komunikasi digital dari Universitas Indonesia. Menurutnya, aktivitas seperti doomscrolling dan konsumsi konten impulsif turut merusak sistem dopamin otak. “Kita jadi sulit fokus, cepat bosan, dan kehilangan toleransi terhadap aktivitas yang menuntut konsentrasi tinggi,” jelasnya.
Sebagai respons, pemerintah tengah menyusun pedoman nasional screen time sehat, yang direncanakan dirilis akhir tahun ini oleh Kementerian Kesehatan dan Kominfo, dengan dukungan dari WHO dan UNICEF.
Langkah edukatif juga mulai diterapkan di sekolah-sekolah melalui program digital detox, “Jumat tanpa gawai”, serta kampanye literasi digital interaktif berbasis komunitas.“Teknologi bukan musuh. Tapi kalau tidak dikendalikan, ia bisa membuat otak kita tumpul,” tutup Dr. Nabila.