Pengamat Sebut Motor Jadi Predator Kemacetan Jakarta, Benarkah Demikian ?
Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, banyaknya pemotor menjadi salah satu penyebab kemacetan parah di Jakarta, tapi faktor lain juga turut memperburuk kondisi lalu lintas ibu kota.
Jakarta, ibu kota dengan arus lalu lintas padat, menghadapi kemacetan ekstrem yang nyaris setiap hari. Dalam berbagai kesempatan, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menyebut bahwa sepeda motor ikut ambil peran besar dalam memperparah kemacetan di Jakarta. Ia menyebut motor sebagai “predator transportasi umum”, karena motor mudah menyusup ke ruang jalan, membuat aliran lalu lintas semakin padat, dan kadang menjadi pengganggu pada titik arus tinggi.
Namun, menyalahkan motor saja terlalu sederhana. Kemacetan Jakarta diakibatkan oleh kombinasi beberapa faktor. Pertama, banyaknya kendaraan pribadi — baik mobil maupun motor — yang terus meningkat tiap tahun, sementara kapasitas jalan dan sistem transportasi belum mampu mengimbanginya. Kedua, transportasi umum yang belum melayani secara memadai hingga ke pemukiman warga, serta integrasi antarmoda yang belum optimal, menyebabkan masyarakat memilih kendaraan pribadi.
Ketiga, manajemen lalu lintas dan regulasi belum konsisten. Upaya seperti pembatasan kendaraan pribadi, kebijakan ganjil-genap, dan rencana ERP (Electronic Road Pricing) sering tertunda atau belum diterapkan secara menyeluruh. Djoko pernah mengatakan bahwa kemacetan Jakarta bisa “selesai permanen” kalau sistem ERP diberlakukan, agar pengguna kendaraan pribadi lebih rasional memilih moda umum.
Faktor keempat adalah desain ruang kota dan penggunaan jalan yang tidak efisien: penyempitan jalan, titik konflik silang arus, parkir liar, dan perhentian kendaraan di badan jalan turut memperlambat aliran. Kelima, kebiasaan pengguna kendaraan sering menghentikan mobil atau motor di lokasi terlarang, seperti di tengah ruas jalan atau trotoar, juga memperburuk kemacetan.
Dampak macet ini bukan sekadar waktu hilang. Jakarta merasakan kerugian ekonomi dalam skala besar. Menurut Kementerian Perhubungan, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta saja mencapai Rp 65 triliun per tahun. Sementara studi lain menyebut kerugian di Jabodetabek menyentuh Rp 100 triliun per tahun, termasuk dari bahan bakar terbuang, waktu produktif yang hilang, dan dampak kesehatan dari polusi udara.
Waktu yang terbuang akibat macet juga signifikan: menurut Global Traffic Score oleh INRIX, warga Jakarta menempuh rata-rata 65 jam per tahun hanya untuk terjebak kemacetan.
Dengan realitas ini, Djoko menekankan bahwa solusi harus menyeluruh: pengembangan transportasi publik yang menjangkau hingga ke pemukiman, integrasi antarmoda, regulasi ketat terhadap kendaraan pribadi dan motor, sistem ERP, serta penataan ruang jalan yang lebih baik. “Motor mungkin prediktor, tapi kita perlu mengubah sistem agar yang beralih ke kendaraan umum makin banyak, dan lalu lintas kota makin tertata,” katanya. IDN Times+1
Apakah klaim bahwa “motor adalah penyebab utama macet” sepenuhnya benar? Bisa dikatakan motor memperburuk situasi, terutama di ruas kecil dan ketika volume kendaraan umum rendah. Namun, akar masalah sejatinya terletak pada sistem transportasi yang belum cukup tangguh menerjang pertumbuhan kendaraan. Tanpa reformasi transportasi publik dan kebijakan ruang kota yang tegas, kemacetan Jakarta akan terus menjadi beban bagi ekonomi, waktu, dan kualitas hidup warga.





