PHK Capai 44.333 Orang hingga Agustus 2025, Apa Kabar Lapangan Kerja di Indonesia?
Jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia mencapai 44.333 hingga Agustus 2025, sementara tingkat pengangguran menunjukkan tren yang beragam di beberapa provinsi.
Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2025 ada 44.333 pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat PHK. Pada bulan Agustus sendiri, tercatat 830 orang yang terkena PHK, angka yang menunjukkan penurunan dibandingkan Juli 2025 yang mencapai 1.118 orang. Meski tren bulanan sempat menurun, jumlah total pekerja yang terdampak masih cukup tinggi dan menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan lapangan kerja.
Data juga mengungkap bahwa Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi, yakni mencapai 261 orang hanya dalam sebulan. Provinsi lain yang cukup terdampak adalah Sumatera Selatan (113 orang), Kalimantan Timur (100 orang), Jawa Timur (51 orang), dan DKI Jakarta (48 orang). Jawa Barat bahkan menyumbang sekitar 29% dari total PHK nasional pada Agustus, mencerminkan tekanan berat pada sektor industri dan manufaktur yang banyak berpusat di wilayah tersebut.
Meskipun di tingkat makro ekonomi Indonesia menunjukkan performa positif, situasi lapangan kerja tidak sepenuhnya sejalan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12% pada kuartal II 2025 secara tahunan. Pertumbuhan ini didorong konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor, tetapi belum cukup menciptakan lapangan kerja baru yang sebanding dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 berada di 4,76%, atau setara dengan 7,28 juta orang. Angka ini memang sedikit turun dibandingkan periode sebelumnya, namun secara absolut jumlah penganggur naik akibat masuknya tenaga kerja baru. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya jumlah pekerja informal, terutama di sektor transportasi daring, perdagangan kecil, dan jasa, yang seringkali tidak memiliki jaminan kepastian pendapatan maupun perlindungan sosial.
Pengamat ketenagakerjaan menilai fenomena PHK massal dan stagnasi penciptaan lapangan kerja dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, perlambatan permintaan global yang membuat sektor ekspor, terutama manufaktur tekstil dan elektronik, mengalami penurunan order. Kedua, tekanan biaya operasional dalam negeri akibat kenaikan harga energi dan bahan baku. Ketiga, otomatisasi dan adopsi teknologi baru yang mulai menggantikan peran tenaga kerja, terutama di sektor padat karya.
Di sisi lain, pemerintah berupaya meredam dampak PHK dengan memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui BPJS Ketenagakerjaan, serta memperluas akses pelatihan vokasi untuk meningkatkan keterampilan pekerja. Namun, sejumlah serikat buruh menilai kebijakan ini masih kurang efektif karena belum menjangkau pekerja informal yang jumlahnya terus meningkat.
Sejumlah analis juga mengingatkan bahwa jika tren PHK terus berlangsung hingga akhir tahun, maka target penciptaan 2,5 juta lapangan kerja baru dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bisa terancam. Apalagi, menjelang 2026, Indonesia akan menghadapi tantangan tambahan berupa ketidakpastian global, termasuk fluktuasi harga komoditas dan dampak dari pemangkasan suku bunga di Amerika Serikat yang dapat memengaruhi aliran investasi.





