TechnoUpdate News

Robot Gantikan 600 Ribu Pekerja Amazon, Akankah Fenomena Ini Terjadi di Indonesia?

Rencana Amazon menggantikan lebih dari 600 ribu karyawannya dengan robot pada 2033 menjadi peringatan bagi Indonesia untuk segera menyiapkan tenaga kerja digital di tengah gelombang otomatisasi global.

Amazon, raksasa e-commerce asal Amerika Serikat, tengah mempercepat penggunaan robot dan kecerdasan buatan (AI) di lini operasionalnya. Menurut laporan Business Insider, perusahaan berencana menggantikan lebih dari 600.000 karyawan dengan sistem otomatis berbasis robot pada tahun 2033, demi meningkatkan efisiensi dan menekan biaya hingga 30 persen.

Langkah ini menandai perubahan besar dalam lanskap tenaga kerja global, di mana pekerjaan manusia kian tergantikan oleh mesin pintar. Amazon mengklaim sistem robotik mampu mempercepat proses distribusi dan mengurangi kesalahan manusia, namun kekhawatiran muncul mengenai nasib jutaan pekerja yang posisinya berpotensi hilang.

Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), fenomena ini menjadi peringatan dini bagi Indonesia.

“Pergeseran menuju otomasi akan berdampak besar pada sektor manufaktur dan logistik di Indonesia. Banyak perusahaan mulai bereksperimen dengan AI, robotika, dan otomatisasi, terutama pada rantai pasok besar,” jelas Bhima.

Analisis untuk Indonesia menunjukkan bahwa otomasi dan kecerdasan buatan dapat berdampak signifikan terhadap dunia kerja — termasuk penggantian pekerjaan manual oleh mesin serta munculnya peluang baru yang memerlukan keahlian digital.

Menurut riset McKinsey & Company, hingga 23 juta pekerjaan di Indonesia berpotensi terdampak otomatisasi hingga tahun 2030. Namun di sisi lain, antara 27 juta hingga 46 juta pekerjaan baru bisa tercipta jika transisi terhadap teknologi dikelola dengan baik.

Sementara itu, laporan International Labour Organization (ILO) menyebut sekitar 56 persen pekerja upahan di Indonesia berada pada kategori pekerjaan berisiko tinggi terdampak otomasi, terutama staf administrasi dan pekerja ritel. Sektor yang paling rentan meliputi perdagangan grosir, manufaktur, dan konstruksi — bidang yang selama ini menyerap tenaga kerja besar dan melibatkan banyak tugas rutin.

Read More  Tak Disangka, Gadget di Rumah Diam-Diam Bisa Merekam Kebiasaan Kita

Dalam konteks tersebut, strategi reskilling (pelatihan ulang) dan upskilling (peningkatan keterampilan) menjadi sangat penting. Pemerintah Indonesia melalui program Kartu Prakerja dan kerja sama dengan sektor swasta kini berupaya memperkuat literasi digital agar tenaga kerja tidak tertinggal di tengah disrupsi teknologi.

Bhima menilai, fenomena penggantian karyawan Amazon dengan robot bisa menjadi cermin bagi Indonesia.

“Kalau kita tidak siap, tenaga kerja bisa tergerus. Tapi kalau mampu beradaptasi, otomasi justru bisa mendorong produktivitas dan membuka lapangan kerja baru di bidang teknologi,” katanya.

Direktur CELIOS tersebut menegaskan bahwa Indonesia perlu mendorong regulasi yang menyeimbangkan antara efisiensi teknologi dan perlindungan tenaga kerja.

“Jepang dan Korea Selatan, misalnya, menerapkan pajak khusus bagi perusahaan yang mengurangi karyawan akibat otomasi. Dana pajak itu digunakan untuk membiayai pelatihan ulang pekerja,” tambahnya.

Selain pemerintah, sektor swasta juga mulai mengambil peran aktif. Sejumlah perusahaan e-commerce besar di Indonesia kini mengintegrasikan sistem AI untuk menganalisis perilaku konsumen dan mempercepat layanan pelanggan. Meski demikian, mayoritas pelaku industri masih menempatkan tenaga manusia sebagai bagian penting dalam rantai operasional.

Pakar teknologi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Dedi Prasetyo, menilai otomatisasi perlu diimbangi dengan kebijakan adaptif.

“Kuncinya ada pada regulasi ketenagakerjaan dan pendidikan. Pemerintah harus memastikan pekerja bisa beradaptasi, bukan menjadi korban perubahan teknologi,” ujarnya.

Fenomena yang terjadi di Amazon menjadi pengingat bahwa masa depan pekerjaan akan sangat ditentukan oleh kecepatan adopsi teknologi. Indonesia kini berada di persimpangan penting — antara menjadi pengguna pasif teknologi, atau menjadi negara yang mampu mengelola transisi otomasi secara berkeadilan.

Dengan potensi ekonomi digital yang diperkirakan mencapai US$360 miliar pada 2030, peluangnya terbuka lebar. Namun, kesiapan sumber daya manusia akan menjadi faktor penentu: apakah robot akan mengambil alih, atau manusia yang memimpin di era digital baru ini.

Back to top button