TechnoUpdate News

Survei APJII Ungkap Tantangan Literasi Digital Masa Depan

Generasi Z kini mengubah cara belajar dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) yang terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, menandai pergeseran fundamental dalam dunia pendidikan.

Pukul 22.00, cahaya layar laptop Alya, seorang mahasiswi, masih menyala terang. Di hadapannya, sebuah chatbot AI membantunya menyusun kerangka esai dan mencari ide. Bagi Alya, dan jutaan Gen Z lainnya, teknologi kecerdasan buatan bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan bagian integral dari proses belajar. Fenomena ini, yang menandai pergeseran fundamental dalam interaksi dengan pengetahuan, kini menjadi sorotan utama dalam laporan terbaru industri digital.

Berdasarkan Survei Internet Indonesia 2025 yang baru saja dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), adopsi internet di kalangan generasi muda terus menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Meskipun survei ini mencatat penetrasi internet yang mencapai 80,66% secara nasional, Ketua Umum APJII, Muhammad Arif, menyoroti bahwa tingginya interaksi generasi muda di dunia maya membawa tantangan baru, terutama terkait literasi digital dan keamanan siber.

“Semakin tinggi interaksi generasi muda di dunia maya, semakin besar pula risiko terpapar hoaks, penipuan online, atau eksploitasi data pribadi. Penguatan literasi keamanan siber menjadi langkah yang tidak dapat ditunda,” tegas Arif, seperti dikutip dari Gizmologi.id. Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa di balik kemudahan akses teknologi, terdapat tanggung jawab besar untuk membekali generasi digital native dengan pemahaman yang mendalam.

Tantangan Etika dan Moral di Era AI

Pergeseran perilaku digital Gen Z juga menimbulkan pertanyaan mendalam dari kalangan akademisi. Wening Udasmoro, seorang sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, menyoroti pentingnya etika dan nilai-nilai moral dalam penggunaan teknologi. Dalam sebuah diskusi, ia mengingatkan bahwa inovasi tidak boleh mengorbankan aspek kemanusiaan. “Kita ingin AI ini menjadikan kita tetap berada dalam moral-moral dan nilai-nilai yang harus dipertahankan. Jadi jangan sampai dengan adanya AI, ada aspek-aspek ethical yang kita tinggalkan,” ujar Wening, seperti dilansir oleh laman resmi UGM. Pandangannya menekankan bahwa AI harus menjadi alat yang memperkaya kemampuan manusia, bukan menggantikannya.

Read More  Layani 4 Ribu Mitra Digital, Transaksi BNIdirect API Tembus Rp1.230 Triliun

Fenomena ini menunjukkan bahwa masa depan pendidikan akan berevolusi. Ruang kelas konvensional mungkin tidak lagi menjadi satu-satunya pusat informasi, tetapi akan bertransformasi menjadi pusat kolaborasi di mana siswa dan guru bekerja sama dengan teknologi. Keterampilan yang paling dicari bukan lagi sekadar menghafal, melainkan kemampuan berpikir kritis dan orisinalitas yang tidak dapat direplikasi oleh AI. Selain itu, kemampuan prompt engineering—keterampilan merumuskan pertanyaan atau perintah yang tepat kepada AI—akan menjadi aset penting di masa depan.

Secara keseluruhan, data dari APJII ini adalah sinyal bagi ekosistem pendidikan dan industri di Indonesia. Transformasi digital adalah keniscayaan, dan tantangan besar kita adalah memastikan integrasi teknologi dilakukan dengan bijak untuk memaksimalkan potensi sekaligus meminimalkan risiko. Inilah saatnya untuk merefleksikan kembali kurikulum, melatih pendidik, dan mempersiapkan generasi penerus agar tidak hanya melek digital, tetapi juga mampu mengendalikan teknologi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Back to top button