Survei Terbaru: 31% Gen Z Memilih Tak Kuliah Karena Biaya Mahal
Tingginya biaya kuliah menjadi alasan utama Generasi Z memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa 31% anak muda lebih memilih jalur alternatif seperti pelatihan keterampilan dan program magang dibandingkan universitas.

Sebuah survei terbaru dari Deloitte Global 2025 mengungkap bahwa 31% Generasi Z (Gen Z) di Indonesia memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Alasan utama di balik keputusan ini adalah tingginya biaya kuliah, yang disebut sebagai faktor penghambat terbesar oleh 39% responden.
Selain faktor finansial, banyak Gen Z juga meragukan relevansi pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Mereka lebih memilih jalur alternatif seperti pelatihan keterampilan, magang, dan on-the-job training (OJT), yang dianggap lebih efisien dan langsung memberikan pengalaman praktis.
Di Indonesia Generasi Z menghadapi tantangan besar dalam pendidikan dan karier. Menurut laporan dari Center for Digital Society, kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih cukup lebar, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Gen Z menyumbang angka pengangguran tertinggi, dengan 3,8 juta dari 8,7 juta pengangguran berasal dari kelompok ini. Pandemi COVID-19 juga memperburuk kondisi akademik dan ekonomi mereka, membuat banyak anak muda mempertimbangkan jalur pendidikan non-tradisional seperti kursus online dan sertifikasi keterampilan.
Menanggapi tren ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa pemerintah terus berupaya meningkatkan akses pendidikan tinggi melalui program beasiswa dan skema pembiayaan yang lebih fleksibel.
“Kami memahami bahwa biaya kuliah menjadi tantangan bagi banyak anak muda. Oleh karena itu, kami mendorong lebih banyak program vokasi dan pendidikan berbasis keterampilan agar mereka tetap bisa bersaing di dunia kerja,” ujar Abdul Mu’ti dalam sebuah konferensi pers baru-baru ini.
Sementara itu, Ekonom Pendidikan dari Universitas Indonesia, Dr. Rina Setiawan, menyoroti bahwa perubahan pola pikir Gen Z terhadap pendidikan tinggi mencerminkan pergeseran global.
“Generasi muda sekarang lebih pragmatis. Mereka melihat pendidikan sebagai investasi, dan jika biayanya terlalu tinggi tanpa jaminan pekerjaan yang layak, mereka akan mencari alternatif lain,” jelas Dr. Rina.
Fenomena ini menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem pendidikan tinggi agar lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan industri. Dengan semakin banyaknya Gen Z yang memilih jalur non-tradisional, perguruan tinggi perlu beradaptasi dengan menawarkan program yang lebih fleksibel dan berbasis keterampilan.
Apakah pendidikan tinggi masih menjadi pilihan utama bagi generasi mendatang? Hanya waktu yang bisa menjawab.