Tragedi Supercar, Mengapa Mobil Sport Mewah Sering Kecelakaan?
Kecelakaan mobil sport mewah kembali menyita perhatian publik, dari Lamborghini yang ringsek di Tol Kunciran hingga tewasnya Diogo Jota di Spanyol.

Mobil sport mewah, simbol status dan kecepatan, kembali menjadi sorotan setelah serangkaian kecelakaan tragis mengguncang publik. Di Indonesia, sebuah Lamborghini Murcielago putih mengalami kecelakaan tunggal di ruas Tol Kunciran, Tangerang Selatan, pada Minggu pagi, 17 Agustus 2025, sekitar pukul 10.15 WIB. Mobil yang tengah konvoi bersama supercar lain itu ringsek setelah pengemudi kehilangan kendali di tikungan KM 15.500 arah Serpong. Tidak ada korban jiwa, namun kerusakan parah dan viralnya video insiden tersebut memicu kembali perdebatan tentang keselamatan mobil sport di jalan umum.
Di luar negeri, dunia sepak bola berduka atas tewasnya penyerang Liverpool, Diogo Jota, dalam kecelakaan maut di Zamora, Spanyol. Lamborghini yang ditumpangi Jota dan adiknya terguling dan terbakar setelah pecah ban saat menyalip kendaraan lain. Keduanya dinyatakan meninggal di tempat. Tragedi ini menambah daftar panjang kecelakaan supercar yang tidak hanya merenggut nyawa, tapi juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah mobil sport terlalu berbahaya untuk jalan umum?
Menurut AKP Giyarto dari Korlantas Polri, kecelakaan Lamborghini di Tol Kunciran terjadi karena pengemudi tidak mampu mengendalikan kendaraan saat menikung. “Mobil sport punya tenaga besar dan sistem kemudi yang sangat responsif. Jika tidak terbiasa, pengemudi bisa kehilangan kontrol dalam hitungan detik,” ujarnya.
Sony Susmana, Direktur Training Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), menegaskan bahwa mengemudi supercar idealnya dilakukan oleh pengemudi level advance. “Mobil ini bukan untuk gaya-gayaan. Ia dirancang untuk performa tinggi, bukan untuk jalanan kota atau tol yang padat. Tanpa pelatihan khusus, risikonya sangat besar,” kata Sony.
Mobil sport seperti Ferrari, Lamborghini, McLaren, atau Porsche memiliki karakteristik teknis yang berbeda dari mobil biasa. Akselerasi yang sangat cepat, sistem suspensi yang kaku, dan kemudi yang presisi membuatnya lebih cocok untuk lintasan balap daripada jalan umum. Sayangnya, banyak pemilik supercar belum memahami karakter ini. Mereka tergoda untuk mengebut di jalan tol yang sepi, atau melakukan konvoi yang memicu euforia berlebihan.
Di Indonesia, kecelakaan mobil sport bukan hal baru. Selain insiden di Tol Kunciran, tercatat beberapa kasus lain seperti kecelakaan McLaren di kawasan SCBD, Jakarta, dan Ferrari yang terguling di Bali. Sebagian besar melibatkan pengemudi muda, jalanan umum, dan kecepatan tinggi.
Kecelakaan supercar bukan sekadar insiden lalu lintas, tapi cerminan dari minimnya edukasi keselamatan dan regulasi kepemilikan kendaraan berperforma tinggi. Perlu ada kebijakan yang mewajibkan sertifikasi mengemudi khusus bagi pemilik mobil sport, serta kampanye publik yang mengedepankan keselamatan di atas gaya hidup.
Keselamatan bukan soal teknologi, tapi soal kesadaran. Mobil sport memang canggih, tapi tanpa kendali yang bijak, ia bisa berubah menjadi mesin maut. Jalanan umum bukan sirkuit balap, dan nyawa manusia jauh lebih berharga daripada gengsi di balik kemudi.